REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rekaman pembicaraan antara Setya Novanto, Riza Chalid, dan Maroef Sjamsoeddin telah diperdengarkan sebagai bukti laporan Menteri ESDM Sudirman Said. Terutama bukti terhadap pencatutan nama kepala negara di sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Menanggapi hal tersebut, Setya Novanto mengatakan rekaman itu diperoleh dengan melawan hukum. "Karena itu tidak boleh digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan etik yang mulia ini, sebab alat bukti rekaman tersebut adalah ilegal," kata Ketua DPR RI Setya Novanto melalui nota pembelaan yang diterima Republika, Senin (7/11).
(Baca: Setya Novanto Sebut Opini 'Praduga Bersalah' Mengorbankan Nama Baiknya)
Melalui pernyataan tersebut, Novanto menambahkan bahwa pengaduan yang dilakukan oleh Menteri ESDM Sudirman Said adalah rekaman ilegal. Sehingga, dia sangat keberatan apabila rekaman ilegal tersebut dijadikan alat bukti dalam persidangan.
(Baca: Setnov: Pengaduan Saudara Pengadu Bentuk Rekayasa Politik Luar Biasa)
Novanto menjelaskan, Maroef Sjamsoeddin merupakan pegawai swasta perusahaan asing di Indonesia, bukan penegak hukum. karena itu, ia tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk merekam atau menyadap pembicaraan Pejabat Negara atau warga negara Indonesia atau siapa pun di bumi Indonesia.
"Bahwa tindakan Saudara Maroef Sjamsoeddin yang melakukan perekaman atau penyadapan adalah tindakan kriminal, sangat jahat, dan sangat tidak beretika," ujar politikus Partai Golkar ini. (Baca: Kesaksian Menteri ESDM dan Bos Freeport Disebut Palsu dan Ilegal )
Mendasari alasan-alasan yang didapatkan, Novanto berharap MKD mengesampingkan semua dalil-dalil dan tuduhan-tuduhan yang didasarkan dari rekaman yang ilegal. Dengan kata lain, Novanto meminta MKD tidak menjadikan rekaman ilegal menjadi alat bukti dalam persidangan pengusutan masalah etika yang dituduhkan padanya.