REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Rektor Universitas Harkat Negeri, Sudirman Said, mengungkap mayoritas orang muda di Indonesia berpandangan progresif.
Sudirman mengutip hasil survei Yayasan Pelopor Pilihan Tujuhbelas Semester I 2025. Menurut survei itu, 40 persen orang muda Indonesia memiliki pandangan politik progresif, dan 49 persen lainnya tergolong sangat progresif–angkanya konsisten.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
“Ini menggembirakan. Artinya, anak muda kita masih menaruh perhatian pada nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sosial,” ujar Sudirman Said dalam Pidato Sumpah Pemuda di Universitas Harkat Negeri, Selasa (28/10/2025).
Namun, di balik optimisme itu, Sudirman menyebut, bangsa Indonesia kini kelelahan “dijajah” oleh penjajahan model baru yang kebanyakan berasal dari bangsa sendiri.
“Akhir-akhir ini, bangsa kita tengah kelelahan dirudapaksa oleh korupsi, pengkhianatan konstitusi, pembajakan demokrasi, dan gelimang praktik-praktik tak punya malu,“ ungkap Sudirman.
Guna mengakhiri rudapaksa tersebut, Sudirman menyerukan kepada kaum muda untuk mengambil api perjuangan Sumpah Pemuda 1928 yang berhasil membangun konsolidasi pergerakan pemuda yang terbelah, jadi bersatu untuk Indonesia.
“Belum pernah ada satu penguasa pun yang berhasil mempersatukan Indonesia kecuali kaum tahun 1928 itu, jong-jong itu. Sumpah Pemuda menciptakan persatuan Indonesia sebelum pemerintah Indonesia mengusahakan persatuan. Itu semua dari dan oleh rakyat, yang pelakunya didominasi oleh orang muda,” tukas Sudirman.
Menurut Sudirman, karakter kejuangan kawula muda 1928, yakni Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, dll, masih sangat relevan untuk zaman sekarang. Mereka, katanya, memiliki empat karakter utama: tabah dalam menghadapi tekanan, berjamaah dalam kejujuran dan kompetensi, manunggal dengan rakyat, dan menjaga integritas melalui rekam-jejak kebaikan.
Maka, pandangan progresif mayoritas orang muda itu jika bisa dikonsolidasikan dengan sungguh-sungguh, akan menjadi energi untuk memperbaiki bangsa dan mengembalikan kepemimpinan moral.
“Dari jong-jong angkatan 1928 itu pula kita bisa belajar, bahwa kompas pemimpin dalam bekerja itu namanya adalah moral,” tutur dia.
Dia menyebutkan, pemimpin bukan dinilai dari kata-kata manis dan sopan-santunnya, karena itu semua punya sifat manipulatif.
Pemimpin itu, kata dia, dinilai dari aksi nyata integritas dan komitmen dalam meneguhinya juga dari kesanggupannya untuk membenamkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Pada gilirannya, kata Sudirman, kepemimpinan moral akan membangun dan merebut trust publik. Publik pun akan menjadikannya sebagai standar dan panduan, terutama terkait praktik-praktik berbangsa dan bernegara.