Senin 16 Nov 2015 16:35 WIB

IKADIN: Pengadilan Rakyat Peristiwa 1965 tak Berlandasan Hukum

Pengadilan PKI digelar di Belanda, Selasa (10/11).
Foto: AP
Pengadilan PKI digelar di Belanda, Selasa (10/11).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) menilai Pengadilan Rakyat Internasional tentang Peristiwa 1965 di Den Haag, Belanda pada 10-13 November 2015 lalu seharusnya tak perlu dilakukan.

Lantaran penyelesaian kasus pelanggaran hak azasi manusia di masa lalu bisa dilakukan dengan rekonsiliasi.

“Apa yang mereka lakukan itu tidak mempunyai landasan hukum, baik hukum nasional atau internasional karena mempermalukan bangsa,” jelas Ketua Umum DPP IKADIN Sutrisno saat Rapimnas DPP IKADIN di Surabaya melalui rilis pers kepada Republika.co.id, Senin (16/11).

Yang berhak mengadili kasus seperti ini, imbuhnya, adalah Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), bukan pengadilan rakyat yang disebutnya diinisiasi oleh praktisi hukum Todung Mulya Lubis. Terlebih lagi telah ada rekomendasi dari komnas HAM yang ditujukan kepada Kejaksaan Agung.

 

“Sebagai orang yang mengerti hukum dan warga negara Indonesia, Todung Mulya Lubis seharusnya tidak mempermalukan bangsanya dan lebih mengedepankan rasa nasionalisme,” tegas Sutrisno.

 

Sutrisno menegaskan, langkah yang harus diambil para pelaku pengadilan rakyat tersebut adalah menggugat kejaksaan melalui pengadilan di dalam negeri dan diselesaikan di dalam negeri juga. IKADIN juga meminta pemerintah untuk secepatnya melakukan rekonsiliasi guna menyelesaikan kasus Peristiwa 1965.

 

“Rekonsiliasi harus dijalankan namun penyelidikan terhadap kasus tersebut tetap dijalankan oleh Kejaksaan. Rekomendasi dari Komnas HAM atas kasus tersebut bisa dijadikan pijakan awal penyelidikan,” tegasnya.

 

Peristiwa 196, menurutnya, merupakan kasus politik yang rumit dan proses hukum tidak akan dapat dilakukan dengan mudah karena banyak yang terkait.

 

"Tidak sesederhana itu, tak mudah kita giring pada pelanggaran HAM karena politik yang rumit. PKI itu jadi bagian tidak terpisahkan dari kekerasan yang dilakukan sebelumnya dan rentetan sikap politik PKI sendiri yang melakukan kudeta pada 1948. Tidak mudah orang mencari siapa korban dan pelaku dalam konteks pelanggaran HAM," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement