Kamis 04 Jun 2020 13:58 WIB

'Sejarah 1965 Selalu Tuai Perdebatan Lantaran tak Tuntas'

Tuduh-menuduh peristiwa 1965 soal siapa dalang masih berlangsung sampai sekarang.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Ratna Puspita
Monumen Perisai Pancasila yang menjadi peringatan peristiwa Kedung Kopi pada 22 Oktober 1965 (ilustrasi). Perdebatan terkait sejarah Pembantaian simpatisan PKI pada 1965-1966 yang berujung pada keluarnya tagar #BoikotWikipedia.
Foto: Republika/Andrian Saputra
Monumen Perisai Pancasila yang menjadi peringatan peristiwa Kedung Kopi pada 22 Oktober 1965 (ilustrasi). Perdebatan terkait sejarah Pembantaian simpatisan PKI pada 1965-1966 yang berujung pada keluarnya tagar #BoikotWikipedia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X (Pendidikan) DPR RI Andreas Hugo Pareira menyoroti perdebatan terkait sejarah Pembantaian simpatisan PKI pada 1965-1966 yang berujung pada keluarnya tagar #BoikotWikipedia. Ia menilai, spekulasi soal itu terus bermunculan karena sejarah tersebut tak pernah tuntas dibahas.

"Kasus Wikipedia ini merupakan perang sejarah di bangsa ini yang belum selesai, tuduh-menuduh peristiwa 1965 soal siapa dalang masih berlangsung sampai sekarang karena dahulu sejarah peristiwa 1965 tidak pernah diungkap tunta," kata Andreas pada Republika, Kamis (4/6).

Baca Juga

Belum tuntasnya sejarah tersebut, kata Andreas, memunculkan spekulasi akademis maupun informasi yang kerap kali diarahkan untuk mempertahankan diri/kelompok atau menyerang kelompok lain. Wikipedia sebagai open source informasi, dinilai Andreas, menjadi merupakan korban perang sejarah ini. 

Ia berpandangan, bila ada yang tidak setuju dengan satu informasi sejarah yang ditulis di Wikipedia maka pihak tersebut bisa menulis sejarah dengan data dan fakta serta riset yang mendukung. "Silakan tulis saja versi sejarah yang menurut dia benar, sehingga akan muncul berbagai versi dan biarkan masyarakatlah yang menilai kebenaran sejarah tersebut, tanpa harus menggugat dan mematikan wikipedia yang tidak bersalah, karena dia hanya wadah, bukan informasi itu sendiri," kata dia. 

Andreas mengingatkan, sejarah seharusnya ditempatkan di ruang akademis, bukan di ruang politik. Karena itu, masyarakat disuguhi kebenaran sejarah yang teruji sejarah secara akademis. "Bukan selera penguasa," ujarnya. 

Secara terpisah, menyoroti perdebatan ini, Sejarawan Bonnie Triyana menyebut ada dua arus besar penafsiran dalam perdebatan sejarah peristiwa 1965. Kelompok pertama menitikberatkan pemberontakan dan kekejaman PKI dalam sejarah awal kemerdekaan, misalnya pemberontakan 1926, Madiun 1948, sampai G30S-PKI 1965.

Setelah Reformasi dan kekuasaan Soeharto berakhir, sejarah berkembang dengan tak hanya merekonstruksi peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965, namun juga mengungkap apa yang terjadi setelahnya. Ini adalah fase setelah G30S-PKI, di mana para simpatisan PKI ditangkap dan dibunuh tanpa pengadilan.

Yang menjadi masalah, lanjut Bonnie, selama ini sebagian besar orang Indonesia terlalu banyak menitik beratkan pada kelompok pertama. Hal ini tak terlepas dari zaman Orde Baru yang mencekoki pelajar soal sejarah 1965 dengan titik berat kelompok pertama. "Angkatan saya itu selalu dicekoki film G30SPKI, pelajaran sejarahnya tentang kekejaman segala macam," ujarnya pada Republika

Bonnie memahami adanya pihak-pihak yang masih merasa sakit hati terhadap sejarah PKI dalam G30S-PKSI maupun tahun awal kemerdekaan. Terlebih pada peristiwa Madiun 1948, PKI disebut membantai ulama dan santri. Sehingga, ada seolah mewajarkan pembantaian pada PKI setelahnya. 

Ia menekankan, kedua tindakan tersebut tidak boleh dianggap wajar. "Jadi kita nggak bisa membenarkan pembunuhan jenderal itu. Nggak bisa juga kita kemudian mewajarkan penangkapan dan pembantaian karena alasan balas dendam," kata Pemimpin Redaksi Historia.id itu menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement