REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla dengan jajaran elite Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berlangsung tertutup di Istana Merdeka pada Kamis(12/11), malam. Pertemuan itu menghasilkan pergantian nama di KIH menjadi Partai Pendukung Pemerintah (PPP).
Banyak pihak menduga motif pergantian nama itu karena Partai Amanat Nasional (PAN) yang berubah haluan dari oposisi menjadi pendukung pemerintah. Namun, politikus PDIP, Budiman Sudjatmiko menampik hal itu.
"Tidak ada hubungannya dengan masuknya PAN," kata Budiman Sudjatmiko dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Jumat (13/11).
Ditanya soal latar belakang pergantian nama, anggota Komisi II DPR itu mengaku karena perbedaan antara KIH dan KMP semakin bias. Sehingga, perlu ada istilah baru demi menegaskan batas di antara partai pendukung dan yang berseberangan dengan pemerintah.
"Orang-orang di partai-partai KIH itu juga punya jiwa merah putih, sementara orang-orang yang berada di KMP juga sama-sama ingin Indonesia hebat," ujar dia. (Baca: Gerindra Sebut Koalisi Pemerintah Lemah)
Maka, pergantian nama ini tidak lain untuk memberi batas yang jelas antara partai-partai penguasa dan oposaisisi. Hal ini pun dinilai akan cukup memengaruhi parlemen, meskipun Budiman enggan memperincinya.
Dia hanya memberikan sinyal, mulai kini partai anggota KIH atau yang menyeberang dari KMP mesti 100 persen mendukung pemerintah di parlemen. "Nah, dengan menyebut (KIH) sebagai Partai Pendukung Pemerintah (PPP), merupakan sebuah sikap dan posisi politik partai-partai tersebut terhadap pemerintah untuk membedakannya dengan mereka yang ada di luar pemerintahan sebagai oposisi," kata Budiman. (Baca: PKS: Ganti Nama KIH Pertegas Pendukung dan Oposisi)