Kamis 29 Oct 2015 15:44 WIB

‎Besok, Buruh Siap Kepung Istana

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Angga Indrawan
  Buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/10).   (Republika/Raisan Al Farisi)
Buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/10). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang aksi unjuk rasa sebagai bentuk perlawanan elemen buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Upah (KAU) terhadap pemerintahan tak terbendung. Siang ini bertempat di LBH Jakarta, KAU melakukan mimbar rakyat sebagai ajang konsolidasi aksi Buruh Kepung Istana Negara yang akan dilangsungkan Jumat (30/10).

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan PP Pengupahan Nomor 78 Tahun 2015 yang baru disahkan Presiden Jokowi adalah bencana besar bagi buruh Indonesia. "Bagaimana tidak, pendapatan buruh Indonesia yang berbasis upah minimum hanya sebesar Rp 1,1 juta hingga Rp 2,9 juta, akan makin jauh tertinggal dari negara-negara lain seperti Filipina, Thailand, dan Cina yang upahnya telah mencapai Rp 3,5 hingga Rp 4 jutaan," ujar Iqbal di Jakarta, Kamis (29/30). 

Protes buruh terhadap PP Pengupahan ini bukan hanya pada kontennya, melainkan pada proses penetapanya yang tidak melibatkan dan mendengarkan aspirasi kaum buruh. Menurut dia, isi atau pesan kuat dari PP Pengupahan yang sengaja diterbitkan beberapa hari jelang penetapan upah minimum ini adalah untuk membatasi kenaikan upah minimum sesuai pesanan para pengusaha yang rakus.

Melalui PP Pengupahan ini, penetapan upah minimum oleh gubernur atau bupati tidak lagi menggunakan acuan utama yang diatur dalam pasal 84 ayat 4 UU Ketengakerjaan No 13 Tahun 2013. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa gubernur atau bupati menetapkan upah minimum berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan berbasis survei kebutuhan hidup layak (KHL), angka pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan angka inflasi. 

Iqbal mengatakan pemerintah harusnya merespons keinginan buruh merevisi KHL. Sayangnya, pemerintah malah menghilangkan komponen KHL dalam formula penetapan kenaikan upah minimum. "Melalui PP ini, kenaikan upah hanya berdasarkan angka pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi saja, tidak lebih 10 sampai 11 persen. Dengan perhitungan inflasi enam persen dan pertumbuhan ekonomi lima persen," jelas Iqbal. 

PP Pengupahan dinilai mereduksi peran dan partisipasi serikat buruh dalam penetapan upah minimum karena sudah di tetapkan melalui formula pasti dan menampikkan rekomendasi dari serikat buruh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement