Oleh: Nasihin Masha
Ini simpulan satu tahun pemerintahan Jokowi: Pil pahit, konsolidasi, ujian, kerja.
Pil pahit itu berupa kenaikan harga BBM yang dahsyat, kenaikan harga gas, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan tarif angkutan, dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Adapun konsolidasi itu disimtomkan oleh kegaduhan rotasi di Polri, perpecahan di Golkar dan PPP, pertarungan keras dalam pemilihan pimpinan DPR dan MPR yang diwarnai dualisme abal-abal pimpinan DPR, reshuffle, kepret-mengepret [soal listrik 35 ribu MW, pengembangan Pelabuhan Tanjung Priok, dan kontrak Freeport], perpecahan menyikapi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, pertempuran Polri dan KPK.
Konsolidasi juga menghasilkan reshuffle menteri, penempatan KSAD menjadi panglima TNI dengan menyisihkan tradisi baru pergiliran matra sehingga menyingkirkan “jatah” TNI AL, pergantian kepala BIN. Pada titik lain, juga memperkecil peran wapres. Dalam satu tahun Jokowi berhasil mengonsolidasi kekuasaan. Dari seorang yang “hanya” bermodal keterpilihan dan petugas partai menjadi seorang presiden yang sepenuhnya mengendalikan kekuasaan. Hampir tak ada lagi cabang kekuasaan yang berada di luar jangkauannya.
Tahun pertama ini juga dicirikan oleh ujian yang berat. Kita menyaksikan melambatnya ekonomi dunia, jatuhnya harga komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia (seperti batu bara, minyak dan gas bumi, bijih besi, nikel, kopi, kakao, minyak sawit). Ujian lain adalah kebakaran lahan gambut yang lebih dahsyat sehingga berdampak pada asap yang makin menggila. Tak kalah seru adalah menguatnya dolar sehingga meruntuhkan nilai rupiah terhadap mata uang asing. Siklus El Nino berdampak pada suhu yang meninggi yang berdampak pada produktivitas pertanian, terutama padi.
Tak salah jika Jokowi memilih nama kabinetnya dengan Kabinet Kerja. Ia langsung tancap gas: kerja, kerja, kerja. Pembangunan jalan tol dikebut, pembangunan jalan lintas sumatra juga digeber. Proyek Waduk Jati Gede yang tertunda-tunda sejak masa Orde Baru sudah bisa dimulai pembangunannya.
Demikian pula, proyek-proyek pembangkit listrik, pelabuhan, bandara, dan kereta api. Pembangunan kawasan ekonomi melahirkan empat paket kebijakan ekonomi, menggenjot pajak, dan melobi investor-investor besar dan negara-negara besar adalah sebagian langkah dalam bidang ekonomi.
Hal yang cetar adalah penataan perikanan laut melalui langkah-langkah drastis, berani, dan dramatis. Kementerian Kelautan dan Perikanan berhasil mengusir hingga 6.000 kapal asing yang selama ini tak hanya mengeruk ikan-ikan Indonesia, tapi juga penikmat BBM bersubsidi. Kementerian ini juga menata nelayan yang selama ini menjaring ikan dengan cara yang salah. Mereka menggunakan cantrang dan pukat harimau yang merusak habitat ikan.
Di pertambangan, kementerian ESDM juga berhasil menyelesaikan kisruh TPPI yang berlarut-larut sejak masa reformasi. Kini, perusahaan petrokimia dan pengilangan minyak yang modern dan besar itu sudah mulai uji coba operasi. Ini akan menghemat belanja dolar yang sangat besar karena berkurangnya impor BBM hingga 20 persen. Selain itu, juga membubarkan Petral dan melakukan audit investigasi terhadap perusahaan pengimpor BBM ini.
Blok Mahakam dan Masela juga bisa diselesaikan. Sektor ini paling banyak unsur kepentingannya karena menyangkut duit yang besar. Namun, hal itu bisa diselesaikan melalui pendekatan yang beradab, common sense, dan tanpa ada vested interest. Itu pun kantornya ditembak orang tak dikenal, yang hingga kini tak kunjung terungkap.
Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal juga giat melakukan pembangunan dari desa. Kemenaker berhasil merumuskan sistem pengupahan yang terukur dan predictable. Kementerian Pariwisata juga sudah menetapkan 10 daerah tujuan wisata utama.
Setelah membekukan PSSI, kini Kemenpora dituntut untuk bisa menyelesaikannya agar liga sepak bola bisa berputar kembali. Beruntung ada Piala Presiden yang diselenggarakan dengan sukses dan berhasil memuaskan dahaga olahraga rakyat ini. Masalah PSSI adalah sebagian dari pekerjaan rumah pemerintah. Salah satu yang krusial adalah pencairan anggaran yang sangat rendah.
Dengan situasi yang berat seperti itu, wajar jika kepuasan terhadap Jokowi menurun. Berdasarkan survei Indo Barometer, setelah satu tahun kepuasan publik hanya 46 persen. Angkanya menurun drastis hingga 11,5 persen dibandingkan survei enam bulan lalu. Bandingkan pula dengan perolehan suara Jokowi saat memenangkan Pilpres 2014 yang mencapai 53,15 persen. Ada selisih 7,15 persen.
Memang, hal tersebut dua isu yang berbeda. Namun, hal itu bisa ditafsirkan bahwa publik masih relatif menilai baik terhadap pemerintahan Jokowi kendatipun pemerintah menghadapi ujian dan masalah yang pelik. Apalagi, pemerintah juga telah melesakkan pil yang sangat pahit ke mulut rakyat.
Konsolidasi relatif tuntas, ujian dan pil pahit sudah dilalui, kini yang dibutuhkan rakyat adalah kinerja pemerintah. Dalam satu tahun ini, pemerintah telah berhasil memuaskan relawan dan para donatur yang pada pilpres lalu telah membantunya. Saatnya takhta untuk rakyat, tak harus menunggu hingga di akhir masa jabatan.