Oleh: Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence
Pelantikan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014 sudah berjalan satu tahun. Banyak harapan yang dipanggulkan kepada keduanya.
Hasil survei Indobarometer pada pekan ketiga September lalu menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi rontok 11,5 persen dibanding enam bulan sebelumnya, dari 57,5 persen menjadi 46 persen. Yang tidak puas naik menjadi 51,1 persen. Itu artinya lebih dari separuh masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja presiden.
Jika kita melihat kinerja pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi, persepsi masyarakat itu wajar. Data mengenai pertumbuhan ekonomi yang menurun, bertambahnya jumlah penduduk miskin, naiknya harga bahan pangan, semakin naiknya pengangguran, muramnya komoditas ekspor, seolah-olah mengonfirmasi hasil ketidakpuasan itu.
Jokowi dilantik pada saat ekonomi global sedang krisis. Begitu pegang tampuk kekuasaan, duet Jokowi-JK dihadapkan pada masalah ekonomi cukup pelik. Dengan pengalaman yang masih minim, ditambah soliditas dan kualitas kabinet yang sebagian tidak mumpuni, gerak ekonomi menjadi lamban, jauh dari yang ditargetkan. Belum lagi masalah politik dan hukum yang menggerogoti saat awal kekuasaan.
Berbeda dengan krisis ekonomi 1998. Saat itu, krisis yang terjadi adalah krisis Asia Tenggara (plus Korea). Karena krisis regional, di belahan dunia lain yang menjadi sasaran utama ekspor Indonesia, seperti Amerika, Jepang, Eropa, dan Cina masih tetap jaya. Saat itu, ada beberapa sektor, termasuk tambang dan perkebunan yang justru berpesta karena ekspornya tetap bagus.
Sementara, krisis kali ini adalah krisis global. Hampir seluruh negara ekonominya merosot, terutama Cina dan Eropa, sehingga terjadi penurunan permintaan. Sektor komoditas primer terpukul paling keras, padahal selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia pun terpukul. Ditambah lagi sangat lambatnya pencairan dana APBN, lengkaplah prasyarat terjadinya perlambatan ekonomi.
Maka, pertumbuhan ekonomi terus turun sejak Jokowi menjadi presiden hingga pertengahan tahun ini. Pada kuartal terakhir 2014, ekonomi tumbuh 5,02 persen, pada kuartal I 2015 turun menjadi 4,72 persen, kuartal II kembali turun menjadi 4,67 persen.
Akibat penurunan pertumbuhan ekonomi itu, terjadilah PHK. Menteri Tenaga Kerja memperkirakan ada 60 ribu orang terkena PHK, versi organisasi buruh sekitar 100 ribu orang. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun sampai membentuk desk khusus investasi tekstil dan sepatu untuk mencegah PHK.
Begitu ada PHK, pengangguran pun semakin meningkat karena angkatan kerja baru tidak tertampung. Menurut data Indef, angka pengangguran terbuka naik dari 7,1 persen pada semester I 2014 menjadi 7,5 persen pada semester I 2015.
Kenaikan angka pengangguran secara tidak langsung berimplikasi pada jumlah orang miskin. Pada masa pemerintahan Jokowi, jumlah orang miskin naik dari 10,96 persen pada September 2014 menjadi 11,5 persen pada Maret 2015. Jadi, naik dari 27,72 juta menjadi 28,59 juta. Semakin bertambahnya orang miskin ini menunjukkan pertumbuhan tidak dinikmati merata sehingga kesenjangan bisa kian meningkat.
Kenyataan lain adalah naiknya pinjaman luar negeri oleh pemerintah maupun (terutama) swasta. Pada Oktober 2014, posisi utang luar negeri 295,9 miliar dolar AS (pemerintah 133,1 miliar dolar dan swasta 162,8 miliar dolar). Pada Juni 2015 sudah 304,3 miliar dolar (pemerintah 134,6 miliar dolar dan swasta 169,7 miliar dolar). Kita ingat yang membuat krisis 1998 makin parah adalah membubungnya utang luar negeri swasta.
Kurs rupiah juga menjadi pusat kekhawatiran karena sejak Jokowi dilantik, rupiah cenderung melemah dan menciptakan rekor terburuk sejak krisis 1998. Bahkan, pada akhir September 2015 berada pada Rp 14.811 per dolar.
Beruntung the Fed memberikan kepastian tidak akan menaikkan bunga dalam waktu dekat. Kepastian itu menjadi pemicu menguatnya mata uang global terhadap dolar, termasuk rupiah. Ditambah empat paket ekonomi pemerintah plus intervensi miliaran dolar dari Bank Indonesia, rupiah pun melejit. Pada pekan pertama Oktober, rupiah sudah di posisi Rp 13.400 per dolar.
Dalam bidang pertanian juga begitu. Swasembada beras, jagung, dan kedelai yang ditargetkan tercapai pada tiga tahun pemerintahan Jokowi belum menampakkan kecenderungan menggembirakan. Swasembada daging juga masih menjadi angan-angan, bahkan pemerintah sempat dipermainkan mafia daging. Harga daging pun melejit memberatkan masyarakat.
Layak diapresiasi
Meski begitu bukan berarti tak ada hal yang bisa dicatat dari kinerja pemerintahan. Aksi jibaku Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam kengototannya menenggelamkan kapal asing pencuri ikan layak diapresiasi. Hanya saja, dampak ekonomi gebrakan itu belum begitu terasa karena baru mengamankan potensi kerugian, sementara penerimaan dari sektor ini jauh dari yang ditargetkan.
Kinerja Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono juga pantas diapresiasi. Beberapa proyek infrastruktur yang selama ini mangkrak dihidupkan lagi, seperti Waduk Jatigede, juga beberapa ruas jalan tol yang mandek, seperti di Jawa Tengah dan Jabotabek. Tol Sumatra sudah mulai dibangun, jalan di wilayah perbatasan juga, lumpur Lapindo relatif selesai, belasan bendungan di berbagai pulau sudah 75 persen selesai, belum lagi pembangunan 512 ribu rumah bagi rakyat.
Kinerja Susi maupun Basuki, dan juga beberapa menteri lain, seperti Menteri ESDM yang memberikan kepastian berusaha, Menko Perekonomian dengan paket ekonominya, dan sebagainya. Semua itu baru memberikan fondasi, belum mendampakkan hasil konkret yang bisa langsung dirasakan masyarakat. Jika pemerintah konsisten, fondasi ini akan mampu melejitkan ekonomi mendatang.
Secara keseluruhan, belum terlihat prestasi menonjol dari pemerintahan Jokowi-JK setahun ini sehingga boleh dibilang masih miskin prestasi. Ada beberapa indikator perbaikan, seperti defisit transaksi berjalan membaik, inflasi cenderung rendah, kurs rupiah dan indeks saham menguat, tapi itu belum cukup dicatat sebagai prestasi monumental.
Meski begitu, setidaknya fondasi kekuatan ekonomi sudah mulai dibangun. Ibaratnya, beberapa program dan kebijakan saat ini masih dalam tahap investasi, belum menghasilkan. Jika fondasi dan investasi itu dilanjutkan dengan trek yang benar, pada tahun kedua nanti bukan lagi tahun yang miskin prestasi, melainkan sarat prestasi.