REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional yang dimunculkan Badan Legilasi dalam rapat Program Legislasi Nasional (Prolegnas) memicu polemik publik.
Pakar Hukum Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf mengatakan ada kerancuan dalam redaksi nama RUU itu yang dianggap tidak sesuai dengan maksud dimunculkannya RUU tersebut. Ia menilai redaksi nama RUU Pengampunan Nasional itu bisa menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat.
"Redaksi nama RUU Pengampunan Nasional itu sangat rancu bila dibandingkan dengan maksud RUU tersebut yang fokus pada persoalan pajak," ujarnya, Jumat (9/10).
Menurutnya kalau RUU ini dihadirkan untuk mengambil uang negara yang selama ini hilang atau tidak terpungut. Maka nama RUU Pengampunan Nasional ini bisa ditafsirkan berbeda-beda di masyarakat.
Apalagi bila pelakunya adalah koruptor atau pelaku pencucian uang yang menyelewengkan pajak. Asep menilai kalau fokusnya untuk pajak yang hilang buat saja RUU Penyelesaian pajak misalnya.
"Kalau redaksinya pengampunan, seolah ada kesalahan yang bisa dibenarkan, padahal fokusnya pada pajak dan pendekatan ekonomi. Dengan demikian menghindarkan kesalahpahaman," jelasnya.
Ia mengakui pendekatan pajak memang bisa jadi tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan hukum. Ada kebijakan ekonomi juga untuk mengembalikan uang yang tidak terpungut oleh negara apakah karena pengemplangan pajak. Tapi apakah langkah itu sudah masuk kategori pengampunan atau bukan.
Draft RUU Pengampunan Nasional disampaikan pada rapat Prolegnas Selasa (6/10). Draft RUU tersebut ditujukan bagi wajib pajak yang mengemplang pajak.
RUU itu juga memaparkan penghapusan pajak terutang, pengampunan sanksi administrasi negara dan sanksi pidana di bidang perpajakan bagi pelaku yang siap mengembalikan pajak yang belum tebayar sebagai kerugian negara.