REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi III DPR RI memertanyakan masuknya delik korupsi di Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di draf yang dibuat pemerintah.
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil mengatakan, masuknya delik korupsi di draf KUHP menjadi dilema tersendiri. Namun, yang pasti, secara ideal, KUHP hanya mengatur soal pidana yang pokok saja.
“Idealnya yang pokok ada di KUHP, dia akan menjadi referensi UU di bawahnya,” kata dia di kompleks parlemen Senayan, Selasa (15/9).
Nasir Jamil menambahkan, secara prinsip, masuknya delik korupsi di RUU KUHP ini upaya untuk melakukan pembaruan dan memerbaiki serta mengoreksi apa yang harus ada di UU KUHP. Sebab, sifat dari UU KUHP sendiri tidak terlalu fleksibel. Belum tentu dalam waktu 10 atau 15 tahun lagi, akan ada perbaikan pada UU KUHP ini.
Sebab itu, imbuh dia, KUHP juga harus mengatur pokok-pokok soal korupsi. Ini orientasinya untuk pembenahan hukum itu sendiri. Kalaupun hal pokok diatur dalam KUHP, harus ada komitmen hal-hal teknis juga harus diatur. “Hal-hal yang teknis harus ada juga diatur, jadi bersinergi,” tegas dia.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, sebelumnya soal korupsi memang sudah diatur di KUHP. Namun, karena korupsi ini sifatnya khusus, dibuatlah UU yang sifatnya khusus juga, yaitu UU Tindak Pidana Korupsi. Menurutnya, komisi III pasti akan melihat lagi apakah yang teknis perlu dimasukkan dalam UU KUHP atau tidak. Kalaupun tidak dimasukkan, bagaimana nasibnya nanti.