REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak mempersoalkan jika ada anggapan Presiden Joko Widodo membagi-bagi jatah kursi duta besar ke partai politik (Parpol). Menurut dia, pemerintah memang butuh sosok dari luar karier untuk mengisi posisi strategis di negara prioritas.
Ketua DPP bidang Hubungan Luar Negeri PDIP, Andreas Pereira mengungkapkan, sejak dulu jabatan duta besar sebagian sudah diberikan pada sosok nonkarier. Baik dari partai politik maupun dari profesional. Menurut dia, pemerintah punya strategi terhadap pos-pos yang dianggap penting dan menjadi prioritas dalam hubungan dengan negara sahabat.
"Bagi-bagi jatah ya memang negara membutuhkan itu, dari dulu sudah seperti itu, ada diplomat karier dan nonkarier," kata Andreas pada Republika, Kamis (13/8).
Andreas melanjutkan, duta besar merupakan permintaan dari Presiden Jokowi sendiri. Partai politik sekadar mengusulkan, tapi tidak semua usulan dari Parpol diakomodasi oleh Presiden. Jadi, belum tentu usulan dari Parpol langsung disetujui oleh Presiden untuk diajukan ke DPR dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.
"Presiden sendiri yang akan melakukan penempatan sesuai dengan strategi dari pemerintah," ujarnya.
Dalam mengatur penempatan dubes, imbuh Pereira, Presiden akan menempatkan sosok yang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan. Misalnya, di negara-negara sahabat yang menjadi prioritas, dubes yang dipilih harus memenuhi standar kriteria tertentu. Dalam urutan diplomasi, prioritas pertama seperti di Washington, Tokyo, London, Arab Saudi, Singapura, Belanda, Jokowi akan menempatkan sosok yang cakap berdiplomasi serta punya pengalaman.
"PDIP memang mengusulkan dua nama ke Jokowi, Helmy Fauzi dan Alexander Litaay," ucapnya.
Helmy Fauzi dan Alexander Litaay dinilai kader PDIP yang sarat pengalaman untuk hubungan luar negeri. Keduanya, kata Pereira memiliki kemampuan berbahasa yang juga bagus. PDIP hanya mengusulkan dua nama itu untuk menjadi dubes Indonesia. Keduanya disetujui Presiden untuk diajukan ke komisi I DPR RI agar dilakukan uji kelayakan dan kepatutan.
Sementara itu, komisi I DPR RI akan menjadwalkan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan pada calon duta besar pertengahan September nanti. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Hanafi Rais mengatakan komisi I akan menguji kecakapan calon dubes secara menyeluruh.
Mulai dari kemampuan komunikasi verbal hingga kapabilitas diplomatik seperti membangun jaringan, keterampilan dan kecerdasan individu, penguasaan wawasan politik global higga regional untuk kepentingan nasional.
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini menegaskan dari nama-nama yang sudah diserahkan Jokowi ke komisi I, ada yang kompeten dan ada juga yang tidak kompeten. Padahal, kerja dubes kali ini sangat berat. Sebab, dubes harus memperbaiki rusaknya citra Indonesia di mata dunia yang sudah dipersepsikan sebagai negara inward-looking atau menutup diri sejak pemerintahan Jokowi berkuasa.
"Perlu diingat, posisi dubes bukan hadiah hiburan (consolation prize) bagi tim sukses," katanya menegaskan.
Hanafi menambahkan, saat uji kelayakan dan uji kepatutan nanti, calon dubes yang tidak berkompeten akan terlihat. Bahkan, Hanafi juga menilai beberapa calon dubes sudah terbaca memiliki rekam jejak yang tidak bagus. Namun, Hanafi enggan membeberkan siapa saja sosok yang punya rekam jejak tak bagus itu. Menurutnya, kompeten atan tidak, akan terbukti saat uji kelayakan dan kepatutan bersama komisi I DPR RI pertengahan September nanti.