Rabu 15 Jul 2015 20:01 WIB

Penetapan Tersangka Gubernur Bengkulu tak Pengaruhi Pemerintahan

  Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah (kiri).
Foto: Antara
Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Pelaksana tugas Sekretaris Provinsi Bengkulu, Sumardi mengatakan bahwa penetapan tersangka kasus dugaan korupsi terhadap Bengkulu Junaidi Hamsyah tidak memengaruhi roda pemerintahan.

"Roda pemerintahan tetap berjalan normal, meski saat ini Gubernur sudah ditetapkan sebagai tersangka," kata Sumardi di Bengkulu, Rabu (15/7). Ia mengatakan para aparatur sipil negara tetap bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi dan pelayanan masyarakat tidak akan terganggu.

Pekerjaan penting yang harus dilakukan oleh sejumlah pegawai yang tidak mendapat cuti Lebaran adalah menyiapkan posko pelayanan arus mudik dan arus balik Lebaran 2015. "Aparatur sipil negara yang mendapat tugas piket di pos pelayanan mudik agar bekerja seoptimal mungkin," ujarnya.

Sebelumnya Mabes Polri menetapkan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah sebagai tersangka kasus dugaan korupsi honor dewan pembina di RSUD M Yunus. Setelah diperiksa sebagai saksi di Mabes Polri pada 8 Juli 2015, kepolisian menyematkan status tersangka kepada Junaidi Hamsyah pada Selasa (14/7).

Polisi menyebutkan bahwa penerbitan SK Gubernur Nomor Z.17 tahun 2011 tentang Honor Dewan Pembina RSUD M Yunus bertentangan dengan Permendagri Nomor 61 tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), sebab dalam Permendagri tersebut tidak menyebutkan adanya struktur dewan pembina.

Akibat penerbitan SK itu, Kasubdit I Dittipikor Bareskrim Polri, Kombes Adi Deriyan menyebutkan bahwa estimasi kerugian negara sebesar Rp 359 juta. Sementara Kuasa Hukum Junaidi Hamsyah, Muspani mempertanyakan argumentasi hukum untuk menetapkan kliennya sebagai tersangka.

"Kasus ini merupakan sengketa kewenangan yang seharusnya diselesaikan secara perdata, bukan pidana," kilahnya.

Ia mengatakan SK Z.17 tersebut menurut Polri bertentangan dengan Permendagri. Padahal, sesuai UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Negara menyebutkan bahwa polisi tidak berwenang untuk menilai atau memeriksa suatu keputusan pejabat tata usaha negara yang berwenang.

Dalam Undang-Undang itu lanjut Muspani, sengketa kewenangan seharusnya diputuskan oleh atasan langsung dari pembuat keputusan dalam hal ini Mendagri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kapolri hingga Presiden.

"Kami sudah membuat lembar kronologi dan sudah disampaikan ke Mendagri, Kapolri dan Presiden, karena kasus ini adalah sengketa kewenangan," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement