Kamis 09 Jul 2015 21:27 WIB

Ini Dua Hal yang Membuat Kepuasan Masyarakat terhadap Jokowi Rendah

Rep: Issha Harruma/ Red: Bayu Hermawan
 Presiden Jokowi memakai baret Mabes TNI disaksikan Panglima TNI Jenderal Moeldoko di Mabes TNI, Cilangkap, Rabu (16/4).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Presiden Jokowi memakai baret Mabes TNI disaksikan Panglima TNI Jenderal Moeldoko di Mabes TNI, Cilangkap, Rabu (16/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei nasional yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan ada 56 persen masyarakat yang kurang atau tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi.

Hasil survei juga menunjukkan, jika dibandingkan dengan pemerintahan SBY, citra Jokowi saat ini jauh tertinggal. Bila saat ini hanya 40,7 persen warga yang menyatakan puas dengan kinerja Jokowi, dalam periode yang sama, lima tahun lalu, terdapat 70 persen warga menyatakan puas dengan kinerja SBY.

Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan mengatakan, ada dua hal yang membentuk pandangan masyarakat tersebut.

"Satu, ekspektasi publik terlalu tinggi atau sangat tinggi. Kedua, Jokowi di masa awal langsung menaikan harga BBM atau menarik subsidi BBM dan itu berdampak langsung di masyarakat," kata Djayadi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (9/7).

Djayadi menjelaskan, tingginya kepuasan masyarakat atas kinerja SBY disebabkan karena SBY tidak menaikkan harga BBM bersubsidi di masa awal pemerintahannya. Selain itu, tidak ada kekisruhan besar yang menjadi sorotan tajam publik, seperti yang terjadi di awal masa pemerintahan Jokowi.

Meski sempat terjadi kekisruhan di tahun 2010 terkait Bank Century, namun SBY masih dapat mengendalikan situasi saat itu.

"Waktu itu ekonomi tumbuh di atas enam persen. Jadi, ada kisruh politik tapi ekonomi stabil. Kan masyarakat kalau lapar, apa-apa jadi marah. Kalau kenyang, ada masalah sedikit, oke," ujarnya.

Djayadi mengatakan, kebijakan yang diambil pasti berpengaruh pada penurunan popularitas pemerintah. Pada pemerintahan Jokowi saat ini, menurutnya, yang terjadi adalah pemerintah tidak punya strategi untuk mengatasi dampak dari kebijakan yang diberlakukan, salah satunya kenaikan BBM. Begitu juga dengan masalah politik dan hukum.

"Kemudian yang terjadi ribut-ribut secara politis, ada kasus pelemahan KPK dan sebagainya. Itu membuat masyarakat melihat pemerintah ngambil kebijakan untuk narik subsidi tapi tidak punya strategi yang jelas, malah sibuk urusan politik hukum yang buat masyarakat bingung. Jadi sinyal-sinyal positifnya tidak tersampaikan ke masyarakat," jelasnya.

Survei yang dilakukan pada 25 Mei hingga 2 Juni 2015 tersebut menggunakan 1.220 responden yang merupakan warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam Pemilu, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.

Responden yang berasal dari 34 provinsi dipilih secara acak diwawancara dengan tatap muka. Margin of error rata-rata dari survei tersebut, yakni sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement