REPUBLIKA.CO.ID,DEPOK -- Maraknya kasus penembakan antara polisi maupun bunuh diri anggota polisi dengan senjata api harus menjadi evaluasi dalam korps seragam coklat tersebut.
“Pemeriksaan rutin juga dilakukan secara berkala terhadap anggota yang memegang senjata. Karena, kondisi kejiwaan pada saat awal perekrutan tentunya berbeda setelah seorang menjalani tugas sebagai polisi,” terang psikolog dari Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta, Selasa (19/5).
Ditambah lagi, tes yang dilakukan saat perekrutan terjadi ketika si polisi berusia masih muda. Ketika menjalani tugas, ujarnya, belum tentu semua polisi bisa menguasai kondisi emosionalnya.
"Sehingga bisa mengubah pola dalam mengambil keputusan," ungkapnya.
Seharusnya, kata dia, dilakukan pemantauan secara berkala terhadap anggota yang memiliki senjata. Sehingga dilakukan verifikasi terhadap kondisi kejiwaan. Yang tidak kalah penting, harus terbangun kedekatan personal antara anak buah dan pimpinan.
"Jangan dilakukan pendekatan militer. Jika terbangun kedekatan personal maka hal seperti ini bisa diminimalisir," katanya.
Dikatakan dia, beban tugas seorang polisi tidaklah mudah. Karena tiap hari mereka selalu berkelit dengan permasalahan. Di tengah beban kerja itu, polisi juga harus menjadi sosok pengayom.
"Yang kalau dipahami ya, polisi itu juga manusia. Mereka punya masalah dan sama seperti manusia umumnya. Namun, mereka dituntut untuk menjadi pelindung. Jadi, beban polisi itu tidak ringan," kata Shinta.