REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- KRT H. Jatiningrat mengatakan sebelum naik tahta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X pernah menguncapkan janji kepada Sri Sultan HB IX, salah satunya adalah untuk tidak melanggar paugeran (turan baku) Keraton Yogyakarta.
"Itu janji yang disampaikan sebelum naik tahta. Apabila Sultan mencla mencle menyalahi janji, itu tanggung jawabnya," kata Penghageng Tepas Dwarapura (Humas) Keraton Yogyakarta KRT H. Jatiningrat.
Ia menjelaskan, ada lima janji yang disampaikan Hamengku Buwono. Kelima janji tersebut adalah untuk tidak mempunyai prasangka iri dan dengki kepada orang lain, untuk tetap merengkuh orang lain biarpun orang lain tersebut tidak senang.
Untuk tidak melanggar paugeran negara, untuk lebih berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, dan Untuk tidak mempunyai ambisi apapun selain untuk menyejahterakan rakyat.
Romo Tirun (panggilan akrabnya KRT H. Jatiningrat) melanjutkan, yang dimaksud paugeran negara itu adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
UU Keistimewaan itu telah diperjuangkan oleh rakyat Yogyakarta selama Sembilan tahun. Hal ini sama dengan hasil perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk mempertahankan wilayahnya selama sembilan tahun.
"Nantinya Kementerian Dalam Negeri harus hati-hati dan membela rakyat dan rakyat harus berpegang pada UUK, karena UUK itu hasil jernih rakyat," jelasnya.
Ia mengaku dengan adanya Sabda Raja dan Dhawuh Raja yang disampaikan HB X tanggal 30 April dan 5 Mei lalu mengakibatkan adanya polemik, baik di kalangan internal Keraton maupun di luar Keraton yang cukup menggelisahkan.
"Ya tunggu saja nanti apa yang terjadi. Tetapi Insya Allah Keraton tidak runtuh karena lembaganya kuat. Namun kalau terjadi apa-apa hal ini menjadi tanggungjawabnya HB X," katanya.
Sebetulnya di struktur organisasi Keraton Yogyakarta ada yang berfungsi memberikan masukan apabila hal-hal yang diputuskan oleh Raja Keraton Yogyakarta tidak sesuai dengan paugeran dan lain-lain yakni Pandite aji (orang yang ahli sesuai dengan penelitian dan ilmunya masing-masing sepertiAhli Ekonomi, ahli hukum, dan lain-lain) dan Sri Palimbangan (yang terdiri dari trah, saudara-saudara raja dan abdi dalem).
"Namun hal itu tidak pernah dibentuk secara serius . Kenyataannya meskipun ada masukan kepada Sultan dari pihak keluarga tidak pernah didengarkan," tandasnya.