Jumat 08 May 2015 23:09 WIB

Ini Makna Sabda Raja dan Dhawuh Raja Sultan HB X

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Bayu Hermawan
Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB X (kiri) saat memberikan Sabda Tama di Keraton Yogyakarta, Kamis (10/5).
Foto: Antara/Regina Safri
Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB X (kiri) saat memberikan Sabda Tama di Keraton Yogyakarta, Kamis (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan penjelaskan mengenai Sabda Raja dan Dhawuh Raja yang dikeluarkannya. Ia meminta semua pihak memahami Sabdda Raja dan Dhawuh Raja tidak hanya dengan pikiran, namun dengan rasa.

"Kalau hanya dipikir itu penuh nafsu dan penuh kepentingan sendiri," katanya di Ndalem Wironegaran, Jum’at (8/5) petang.

Ia mengatakan Sabda Raja merupakan Dhawuh dari Allah. Sultan menjelaskan makna dari Sabda Raja yang diperolehnya dari leluhur Eyang Panembahan Senopati antara lain,  Buwono diganti Bawana karena Buwono itu artinya jagad kecil, sedangkan Bawono jagad ageng (besar).

Sultan HB X mengibaratkan kalau Buwono itu wilayahnya hanya nasional, tetapi Bawono itu wilayahnya internaisonal. Selanjutnya "Suryaning Mataram" dasarnya perjanjian Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring sudah selesai dan tidak diubah.

Maksudnya selesai dari adanya Mataram Lama yakni dari zaman Ken Arok Singosari sampai Pajang, sedangkan Mataram Baru dari zaman Panembahan Senopati sampai sekarang.

Sehingga Mataram Lama dan Mataram Baru sudah menyatu. Jadi ketika Mataram lama ada perjanjian Pemanahan dan Ki Angeng Giring yang memisahkan dengan Mataram baru.

Sehingga dari Zaman Ken Arok, Pajang  dan Mataram itu dasarnya Lir Gumanti, tidak dipisahkan karena di tengah ada perjanjian.

''Dengan menyatunya Mataram Lama dan Mataram Baru di era saya sekarang, ,mestinya menjadi berkah untuk menatap masa depan karena memasuki era baru. Namun saya prihatin dengan situasi seperti ini sangat prihatin, sehingga setiap malam saya di kamar saja," jelasnya.

Selanjutnya nama  Kanjeng menjadi Sri, jelas Sultan, bermakna kembali sempurnanya jagad dan puncarannya jagad sehingga sudah utuh. Sedangkan Khalifatullah Sayidin berubah menjadi Langgenging Tata Panatagama.

"Saya tidak bisa menafsirkan lebih dari itu, karena itu  dhawuh dari Allah," katanya.

Dalam Dhawuh Raja, kata Sultan, yang dilakukannya hanya  menetapan  GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Bawana Langgeng Ing Mataram.

"Karena saya hanya diminta untuk menetapkan putri saya tertua menjadi GKR Mangkubumi. Nantinya bagaimana saya tidak tahu. Karena saya hanya diminta untuk menetapkan saja. Saya juga tidak tahu apa klasifikasinya. Nanti kita tunggu saja,’’ujarnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan ketika menetapkan GKR Pembayun, waktu itu GKR Pembayun berada diantara saudara-saudaranya. 

"Kemudian saya hanya meminta maju dan dia berhak duduk di kursi yang ada di watu gilang," jelasnya.

Menurut riwayat raja-raja Keraton Yogyakarta, mereka yang ditetapkan sebagai putra mahkota dan dinobatkan sebagai raja adalah yang duduk di watu gilang. Sehingga bisa diartikan bahwa GKR Mangkubumi merupakan putri mahkota.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement