REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sosiolog Sugeng Bayu Wahyono mengatakan dengan keluarnya Sabda Raja dan Dhawuh Raja, itu artinya posisi Keraton Yogyakarta tidak statis, namun mengikuti perkembangan zaman.
"Jadi yang namanya Keraton Yogyakarta pemahamannya tidak bisa secara esensialistik, melainkan konstruktufistik. Ketika dunia politik terus berkembang maka keraton harus mengikuti perkembangan itu," katanya usai mendengarkan penjelasan dari Sri Sultan HB X, di Ndalem Wironegaran, Jum’at (8/5) petang.
Menurut Dosen Universitas Negeri Yogyakarta ini, isu yang menguat dalam Sabda Raja dan Dhawuh Raja adalah secara esensialistik di Keraton Yogyakarta tidak pernah ada ratu.
Ia mengatakan, tetapi pesan yang disampaikan oleh Ngarso Dalem tidak bisa yang namanya Keraton Yogyakarta selalu terbuka terhadap perkembangan dunia politik kontemporer pada saat itu.
Implikasinya, kata dia menambahkan, sangat mungkin keraton Yogyakarta diperintah seorang ratu. Tentu hal ini akan menimbulkan perdebatan dan polemik, terutama berhubungan dengan kelompok-kelompok agama. Karena tidak ada tradisi dalam agama Islam ada seorang ratu.
"Yang saya tangkap sejak dulu Keraton itu selalu bersifat open, dinamis, terhadap perkembangan dunia politik kontemperer. Sehingga hal ini lebih mengakomodasi tentang demokrasi, emansipasi. Saya kira itu tidak masalah karena keraton sejak dulu selalu mengikuti dinamika perkembangan zaman," jelasnya.
Dia memberi contoh Zaman Sultan Agung ketika Pantai Utara menguat dari politik Islam, maka harus maka Sultan Agung mengakomodir secara budaya yakni mengubah tahun Saka (Hindu ) menjadi tahun Islam.