REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X untuk pertama kalinya menjelaskan kepada para tokoh masyarakat yang berasal dari dalam dan luar Yogyakarta serta media massa, tentang Sabda Raja yang dikeluarkan pada 30 April dan Dhawuh Raja pada 5 Mei lalu.
Dalam pertemuan yang digelar di Ndalem Wironegaran, Yogyakarta, pada Jumat (8/5) sore, Sultan HB X mengatakan Sabda Raja dan Dhawuh Raja yang disampaikannya menjadi polemik karena bener nanging ora pener (sesuatu yang benar namun tidak tepat cara penyampaiannya atau waktunya sehingga menimbulkan salah paham).
Hal itu karena lima hal tersebut belum sepenuhnya ia jelaskan. Sabda Raja isinya antara lain bahwa namanya berubah menjadi Sri Sultan Hamengku Bawana Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalaga Langgening Bawana Langgenging Tata Panatagama.
Sementara itu Dhawuh Raja isinya adalah Sri Sultan Hamengku Bawana Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalaga Lanengging Bawana Langgenging Tata Panatagama menetapkan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemyayu Bawana Langgeging Ing Mataram.
Sultan HB X mengaku keluarnya Sabda Raja dan Dhawuh Raja hanya melaksanakan dhawuh (perintah) dari Gusti Allah Gusti Agung Kuasa Cipta lewat para eyang-eyang para leluhur Mataram . Karena itu menurutnya, siapa saja tidak boleh kapancahi (mendebat/ menolak).
"Saya sendiri hanya melaksanakan dhawuhing Gusti Allah lantaran eyang-eyang para leluhur Mataram, karena saya takut terkena marah," ujarnya.
Sultan mengakui, dhawuh yang diberikan itu mendadak tetapi tidak boleh menggerutu. Setiap Sabda Raja selalu mengundang adik-adik, tetapi tidak datang.
Ia menambahkan, sejak menjadi Raja Keraton Yogyakarta dia mengaku sudah mengeluarkan lima Sabda diantaranya ketika zaman Presiden Soeharto yakni reformasi, dan ketika terjadi dead lock Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta