Jumat 08 May 2015 18:17 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Revisi UU Pilkada

Pekerja mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara TPS dalam pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak, di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (7/4).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pekerja mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara TPS dalam pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak, di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (7/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil mengecam dan menolak revisi terhadap Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang Partai Politik yang kini tengah digulirkan oleh DPR.

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Correct, Perludem, Kode Inisiatif, YLBHI, IPC, Para Syndicate dan JPPR menggelar pernyataan pers bersama di YLBHI, Jakarta, Jumat (8/5).

Revisi tersebut berkenaan dengan keikutsertaan partai politik yang tengah bersengketa mengikuti pilkada serentak. DPR melalui komisi II tengah mengajukan klausul perubahan agar pengurus partai politik yang berhak ikut serta dalam pilkada adalah berdasarkan putusan hukum yang keluar sebelum pendaftaran bakal calon pilkada, meskipun belum final dan mengikat.

Keinginan DPR tersebut didasari oleh konflik di tubuh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, keinginan DPR untuk melakukan revisi tersebut hanya untuk mengakomodasi kepentingan kelompok politik terntentu.

"Inikan upaya mengakomodir kepentingan politik kelompoknya saja, padahal seharusnya Undang-Undang itu untuk kepentingan yang lebih besar," kata Veri Junaidi dari KoDe Inisiatif.

Ia menambahkan, bila ini diberlakukan maka yang akan timbul adalah kekacauan penyelenggaraan pilkada serentak yang kini tengah dimulai prosesnya.

Aktivis Perludem Khoirunnisa Agustyati menyatakan revisi tersebut justru mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum yang berlarut-larut.

"Bagaimana, misalnya, keputusan PTUN dijadikan sandaran, ternyata nanti dalam proses pilkada selanjutnya, tiba-tiba PT TUN (pengadilan yang lebih tinggi) membuat keputusan yang berbeda, maka bagaimana keabsahan peserta pilkada, bisa terjadi kekacauan dan konflik yang berkepanjangan," katanya.

Ia menambahkan, revisi tersebut menjerumuskan Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenaggara pilkada ke dalam masalah yang tanpa akhir.

"Pasti konflik akan terjadi dan ini jelas menyeret KPU," ucapnya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement