REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sekretaris Tim Sembilan, Imam Prasodjo sangat jengkel dengan keputusan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti yang melantik Komjen Budi Gunawan sebagai wakil kepala Polri. Apalagi, kata Badrodin, pelantikan itu sudah dikomunikasikan dengan pihak Istana, meski Seskab Andi Widjojanto dan Mensesneg Pratikno mengaku tidak tahu-menahu soal itu.
Imam pun akhirnya menulis sebuah surat terbuka untuk Presiden Jokowi dengan mengunggah foto sebuah berita tentang pelantikan Budi Gunawan melalui akun Facebook miliknya. Sosiolog Universitas Indonesia tersebut sadar, tulisannya bakal tidak pernah dibaca Jokowi.
Hanya saja, ia merasa perlu untuk menumpahkan uneg-unegnya terkait pelantikan mantan ajudan presiden RI ke-4 Megawati Soekarnoputri tersebut. Berikut surat Imam:
SURAT UNTUK PRESIDEN
YANG MUNGKIN TAK AKAN PERNAH DIBACA
Jakarta, 22 April 2015
Kepada Yang Terhormat,
Presiden Joko Widodo,
Kami tak dapat berkata apa pun melihat begitu kasat mata arogansi kekuasaan diperagakan dan dibiarkan merajalela. Peristiwa yang akan terjadi hari ini adalah simbol kecongkakan luar biasa yang meruntuhkan kepercayaan paling dalam. Padahal, selama ini kepercayaan itu dicoba dibangun dan ditumbuhkan, dan rakyat pun menyambut dengan gegap gempita.
Inilah episode peperangan kebatilan melawan kejujuran dalam babak baru dalam bungkus politik hukum manipulatif dijadikan landasan utama. Lihatlah. Ketika proses hukum formal dijalankan untuk mengemas beragam kepentingan politik yang bekerja tanpa landasan kejujuran dan tanggung-jawab, tidakkah kepercayaan yang akan menjadi taruhannya? Kepercayaan itu pasti akan terkikis dan bahkan bisa lenyap sama sekali, tanpa bekas? Apakah dikira kepercayaan rakyat yang tumbuh dari batin yang paling dalam ini, dapat dicegah oleh kekuatan kekuatan argumen legalistik yang dibingkai berdasarkan manuver pasal demi pasal akrobat advokat dan hakim bayaran yang sungguh memuakkan? Sama sekali tidak!
Ketahuilah, semua itu tak akan mampu menahan menjalarnya keraguan dan ketidak-percayaan. Apakah artinya kekuasaan bila tak dilandasi kepercayaan rakyat banyak. Apakah artinya kebanggaan bila tak disangga pemihakan pada kejujuran dan tanggung-jawab?
Bapak Presiden,
Kalimat yang tersusun ini memang terlalu abstrak untuk dicerna bagi siapa saja yang tak memahami betapa kini gejolak hati jutaan rakyat begitu hebat terjadi. Kalimat ini sulit difahami bagi mereka yang tak mampu berempati pada tersendatnya denyut nadi orang-orang biasa yang selama ini menjadi saksi kemungkaran yang terjadi di negeri ini. Apakah dikira mereka diam tak memahami semua kepalsuan di balik semua kejadian ini?
Bapak Presiden,
Tentu Bapak melihat begitu banyak rakyat biasa semula sangat berharap bahwa negeri ini, kali ini, akan memulai langkah penuh arti untuk dimulainya perubahan nyata bagi kehidupan bangsa. Di tengah gelapnya awan oligarki yang menutup bumi Indonesia, banyak yang berharap bahwa kali ini, akan ada seberkas sinar terang yang mampu menembus awan, memberi harapan pada perbaikan. Itulah harapan perubahan kehidupan rakyat banyak yang jelata, lepas dari cengraman elit ketamakan dan kerakusan.
Siapa pengusung seberkas sinar pemberi harapan itu? Orang berharap ia adalah orang biasa, orang sederhana yang lugu, orang yang tak punya kepentingan apa apa, dan orang yang bukan berasal dari siapa siapa. Tetapi orang itu punya nyali karena ia dianggap akan berani melawan siapa saja yang melawan kepentingan orang biasa. Ia berani karena justru ia lugu, ia tak memiliki kepentingan pribadi dan ia bahkan tak tertarik pada kekuasaan yang dipegangnya. Karena itu, orang itu diharapkan bisa melakukan apa pun, dengan resiko apa pun, karena bila ia terkena imbas dari langkah yang diambilnya, ia tak akan kehilangan apa-apa karena ia semula memang bukan siapa siapa.
Bapak Presiden,
Andalah orang biasa itu yang diharapkan mengawal seberkas sinar pembawa harapan itu. Begitu banyak rakyat menunggu langkah nyata itu yang kini harus dilakukan di saat situasi kritis. Jangan biarkan oligarki awan gelap menutup dan menghalangi sinar pembawa harapan dan kepercayaan yang semula tumbuh menyebar menyinari negeri ini.
Sekali lagi, saat inilah langkah nyata harus dilakukan Presiden dengan bekal mandat sebagian besar rakyat yang sudah dengan penuh keikhlasan diberikan.
Jangan kacaukan pemahaman bahwa pemberi mandat itu adalah segelintir tokoh elit penikmat kelanggengan kursi kekuasaan.
Kini jelas rakyat menunggu langkah Presiden menggunakan "keluguan" sebagai modal melangkah "cerdas" untuk memihak jutaan rakyat biasa, orang biasa, dan logika biasa. Jangan khianati kejujuran dengan melakukan pembiaran pada kezaliman. Pembiaran itu sama saja dengan pemihakan pada mereka para kenikmatan kekuasaan dan nafsu ketamakan.
Yakinlah dalam melangkah dengan landasan suara hati. Itulah landasan yang paling dapat dipercaya. Itulah nurani kebenaran yang pasti ada di dalam dada. Selamatkan Indonesia! Jangan biarkan orang orang penuh kepalsuan bertengger menempati jabatan yang dapat menghancurkan kepercayaan dan bangsa.
Kami,
Suara Orang Tak Jelas
Yang Mencoba Bersuara