REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insiden terbakarnya pesawat F-16 Fighting Falcon Block 52ID di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Kamis (16/4) kemarin harus menjadi pelajaran bagi Indonesia agar tak gampang menerima hibah alat utama sistem persenjataan (alutsista).
“Indonesia sebenarnya akan membeli F-16 Block 52 baru sebanyak enam unit, tapi kemudian ditawari hibah 24 unit tipe di bawahnya yang bisa diretrofit (rekondisi). Sepintas biaya retrofit murah, tapi sebenarnya tidak efisien,” kata pengamat alutsista Asmu’i Cipta dalam rilisnya, Sabtu (18/4).
Asmu’i menjelaskan, berkaca pada berbagai kasus retrofit alutsista hibah, hasil akhir yang didapat maksimal hanya 50 persen.
Bendahara Lajnah Ta’lif wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LTN PBNU) tersebut juga mengungkapkan, ke depan Indonesia harus berpikir dua kali untuk menerima alutsista bekas dari negara lain.
Dalam kasus hibah F-16, ujarnya, Amerika Serikat tetap diuntungkan meski memberikan secara cuma-cuma, karena minimal bisa mengosongkan hanggarnya dari pesawat yang tak dipakai lagi.
“Dan juga harus dicatat, hibah ini harus dilihat sebagai upaya Amerika menjaga hubungannya dengan Indonesia yang belakangan rajin membeli pesawat tempur dari negara selain Amerika,” tegas Asmu’i.
Asmu’i mendukung keinginan Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Agus Supriatna, yang ke depan menolak masuknya alutsista bekas hibah dari negara lain.
“Saya mendukung upaya peremajaan alutsista negara kita, tapi itu harus dengan yang baru. Jangan pertaruhkan nasib bangsa dan prajurit pengguna alutsista tersebut, hanya karena ingin mengeluarkan biaya yang murah,” tegas Asmu’i.