REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru 5 bulan melaksanakan tugasnya sebagai Presiden Republik Indonesia. Namun, dalam 5 bulan perjalanan politik Jokowi ini, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) sudah mencatat penyimpangan politik anggaran yang dilakukan mantan walikota Solo ini.
Koordinator bidang Advokasi dan Investigasi Fitra, Apung Widadi mengatakan, tercatat 3 gejala penyimpangan politik anggaran yang sudah dilakukan Jokowi. Paling baru, Jokowi meneken Peraturan Presiden nomor 39 tahun 2015 pada 20 Maret 2015 kemarin.
Perpres itu menjadi gejala penyimpangan pertama karena dengan kebijakan itu, Jokowi melakukan pemborosan keuangan negara sebesar Rp 158,8 miliar hanya untuk menambah uang muka pembelian mobil pribadi bagi pejabat.
Hal ini bertolak belakang dengan semangat Jokowi yang ingin membangun transportasi publik yang bagus. Sebab, dengan tambahan uang muka ini maka Jokowi seolah mengajak masyarakay untuk ramai-ramai membeli mobil.
"Keberpihakan politik anggaran sudah bergeser dari prioritas rakyat menjadi berpihak pada birokrasi," kata Apung, Ahad (5/4).
Gejala kedua, paparnya, adalah adanya pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) sumber daya alam dari tahun 2013-2014. Pemotongan DBH SDA minyak dan gas ini sebesar Rp 414 miliar yang diberikan pada daerah (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK 07/ 2014).
Utang DBH SDA pada Pemerintah daerah sebesar Rp 11,95 triliun (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK 07/2015). Hal ini menunjukkan kebijakan politik anggaran Jokowi sangat pelit kepada daerah. Hal ini, tegas Apung, jelas bertolak belakang dengan otonomi daerah.
Gejala penyimpangan politik anggaran ketiga oleh Jokowi adalah anggaran Revolusi Mental sebesar Rp 172 miliar pada APBN-P 2015. Menurut Apung, anggaran itu belum jelas peruntukannya dan rawan korupsi. Ada potensi untuk menghamburkan uang negara dalam proyek sosialisasi, seminar, komunikasi publik terkait revolusi mental.