Ahad 05 Apr 2015 17:14 WIB

Tunjangan Kendaraan Bentuk Penyimpangan Politik Anggaran Jokowi

Rep: Agus Raharjo/ Red: Bilal Ramadhan
Presiden Jokowi.
Foto: Fahd Pahdepie
Presiden Jokowi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebut kenaikan tunjangan kendaraan bagi pejabat menjadi salah satu bentuk penyimpangan politik anggaran Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yaitu, saat Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 tahun 2015 tentang perubahan atas Perpres nomor 68 tahun 2010 pada 20 Maret lalu.

Dengan Perpres yang baru ini, pejabat mendapat tambahan uang muka pembelian mobil mereka dari Rp 116.650.000 menjadi Rp 210.890.000. Artinya ada kenaikan tunjangan untuk setiap pejabat sekitar 85 persen.

Jika dihitung pejabat yang menerima tambahan tunjangan ini ada sekitar 753 orang, yaitu dari DPR RI (560 orang), DPD (132 orang), Hakim Agung (40 orang), Anggota Komisi Yudisial (7 orang), Hakim Mahkamah Konstitusi (9 orang) dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (5 orang).

Koordinator bidang Advokasi dan Investigasia Fitra, Apung Widadi mengatakan, total anggaran uang muka mobil sebesar Rp 158,8 miliar. "Naik Rp 87,8 miliar dibandingkan dengan tahun 2010 yang hanya sebesar Rp 70,96 miliar," kata Apung, Ahad (5/4).

Apung menambahkan, dengan Perpres ini, Jokowi telah membuat kebijakan yang masuk dalam kategori pemborosan keuangan negara. Sebab, pemberian uang muka mobil untuk pejabat terlalu besar. Ini masuk dalam kategori uang muka untuk mobil mewah sekelas Mercedes Benz. Padahal, setiap pejabat sudah diberi fasilitas mobil dinas.

Selain itu, imbuh dia, Fitra mencatat ada indikasi politik balas budi setelah pemilu dan pembungkaman menggunakan fasilitas. Pasalnya, kenaikan tunjangan ini menurut Perpres diberikan pada politisi di parlemen dan pejabat tinggi lainnya. Ini merupakan politik birokrasi model lama yang dipraktekkan kembali.

Fitra juga mencatat adanya potensi korupsi uang muka mobil pribadi pejabat. Sebab, peruntukannya bisa jadi untuk hal lain. Selain itu, karena ini hanya sebagai uang muka, dapat memancing tindakan korupsi untuk pelunasan kredit mobil yang dibeli agar tidak membebani gaji bulanan. Kebijakan Jokowi ini juga bertentangan dengan visi membangun transportasi publik yang bagus.

"Justru dengan DP mobil, mengajak masyarakat untuk membeli mobil," kata Apung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement