Rabu 11 Mar 2015 00:05 WIB

HNW: Ketimbang Anggaran 1 Triliun, Lebih Baik Benahi Tiga Hal Ini

Rep: C14/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Hidayat Nur Wahid saat berdiskusi di MPR, Kamis (12/2)
Hidayat Nur Wahid saat berdiskusi di MPR, Kamis (12/2)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wacana anggaran sebesar Rp 1 triliun dari APBN untuk partai-partai politik menuai tanggapan. Salah satunya, dari politikus PKS, Hidayat Nur Wahid.

Menurut Hidayat, konteks munculnya wacana dari Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo itu wajar bila dikaitkan dengan realitas pemilu dalam sistem demokrasi langsung. Sehingga, ada beban finansial dari tiap politikus yang maju sebagai calon anggota legislatif maupun di eksekutif.

“Sebab, salah satu pintu terjadinya orang untuk mengembalikan modal, karena memang pemilu di Indonesia sangat mahal. Misal yang saya tahu, ada kandidat seorang calon walikota sudah siapkan anggaran Rp 43 miliar. Padahal berapa sih gaji seorang walikota?” kata dia, Selasa (10/3).

Menurut Hidayat, kebanyakan kandidat yang telah menggelontorkan dana besar semasa kampanye, pasti memikirkan soal bukan hanya balik modal, melainkan juga cara memperoleh profit dari jabatannya. Mengatasi hal ini, lanjut Hidayat, pemerintah sebaiknya bukan ikut memungkinkan menggelontorkan dana dari APBN kepada partai-partai. Akan tetapi, dengan jalan menguatkan aturan yang sudah ada.

“Makanya saya katakan, kalau pemerintah serius menekan korupsi dari partai-partai politik, segera ajukan revisi UU Tentang Pemilu, Pilkada, dan juga Partai-partai Politik,” ujar Hidayat Nur Wahid.

Menurut Hidayat Nur Wahid, selain merevisi UU terkait, pemerintah juga mesti memperhaikan setidaknya tiga hal. Adapun ketiga hal ini, lanjut Hidayat, bila ditelaah lebih lanjut berpotensi mengurangi biaya kampanye partai-partai politik atau biaya politik tiap kandidat.

Hal pertama, kata Hidayat, ialah terkait dengan kesiapan di internal partai menjelang pemilihan umum  “Jangan lagi menggunakan sistem proporsional terbuka. Kembalilah ke sistem proporsional tertutup, seperti yang diberlakukan pada 2004. Kalau itu dilakukan, tak akan terjadi persaingan yang tidak sehat di internal partai. Sehingga biaya kampanye caleg bisa ditekan,” ujarnya.

Hidayat berargumen, sistem proporsional terbuka di sebuah partai saja cenderung mengondisikan tiap kandidat berebut suara terbanyak. Akhirnya, mereka saling jegal dan saling jor-joran uang untuk mengalahkan lawannya yang masih separtai. Sehingga, untuk kampanye internal partai saja, mereka mesti mengeluarkan energi dan biaya yang maksimal.

“Kedua, terkait money politics. Harus ada pasal yang sangat keras untuk melarang dan mempidanakan tindakan itu. Bukan hanya bagi yang memberi, juga bagi yang meminta dan yang menerima. Sebab, seringkali kandidat mengeluarkan duit karena diprovokasi oleh pemilih,” jelas Hidayat.

Hal terakhir, lanjut Hidayat, ialah terkait dengan soal iklan. Menurut Hidayat, biaya iklan kampanye politik luar biasa besar. Sementara, masyarakat pada umumnya mengetahuo profil para kandidat dari iklan atau media massa.

Meskipun, kata Hidayat, ada beberapa partai politik yang memiliki media massa sehingga leluasa beriklan. Hidayat menegaskan, kondisi ini justru melahirkan persaingan yang tidak adil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement