REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin menilai Presiden Joko Widodo melakukan lima kesalahan dalam konflik antara Polri dan KPK.
Said mengatakan kesalahan pertama, Presiden tetap mengusulkan Budi Gunawan kepada DPR sebagai calon tunggal Kapolri. Padahal sebelumnya Presiden telah menerima catatan dari KPK tentang dugaan keterlibatan Budi Gunawan dalam kasus rekening gendut dan penerimaan gratifikasi. Bahkan setelah KPK menetapkan status tersangka terhadap Budi Gunawan, Presiden tetap kukuh mengusulkan Budi Gunawan kepada DPR.
"Apabila pada saat itu Presiden memperhatikan masukan KPK dan tanggap terhadap munculnya resistensi publik atas pencalonan Budi Gunawan, maka masalahnya tidak akan serumit sekarang. Presiden pada saat itu sebetulnya punya kesempatan untuk menganulir pencalonan Budi Gunawan, tetapi hal itu ternyata tidak dilakukan," jelasnya, Ahad (8/2).
Kesalahan kedua, lanjutnya, Presiden terlalu cepat memberhentikan Sutarman sebagai Kapolri, padahal Presiden belum berkehendak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri yang baru pasca DPR memberikan persetujuan. Akibatnya, dalam institusi kepolisian terjadi ketidakjelasan kepemimpinan.
Meskipun, kemudian Presiden menunjuk Wakapolri Badrotin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri, lanjutnya, tetapi Badrotin juga sadar posisi Budi Gunawan jauh lebih kuat daripada dia.
Sebab, secara ketatanegaraan Budi Gunawan sudah resmi diusulkan dan disetujui menjadi Kapolri oleh dua institusi negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat bernama Presiden dan DPR, sedangkan Badrotin hanyalah pelaksana tugas Kapolri.
Menurutnya, kondisi itu membuat Budi Gunawan dapat leluasa memainkan pengaruhnya di dalam institusi Polri. Pergantian Kabareskrim Mabes Polri dari Suhardi Alius ke Budi Waseso juga disebut-sebut karena pengaruh Budi Gunawan.
"Andaikata Suhardi Alius tidak diganti, belum tentu muncul kasus penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Belum tentu juga akan muncul laporan demi laporan yang memperkarakan pimpinan KPK yang lain. Bahkan boleh jadi tidak akan muncul konflik KPK-Polri," katanya.
Kesalahan yang ketiga, Presiden tidak berani mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Independen. Dia melihat Presiden terlihat tidak punya nyali untuk memformalkan tim tersebut karena hal itu disebut-sebut mendapatkan penolakan dari ketua umum partai pendukung Presiden.
Padahal, jika tim independen dibentuk secara formal seperti tim delapan yang pernah dibentuk oleh Presiden SBY pada konflik KPK-Polri sebelumnya, maka penyelesaian masalahnya bisa semakin cepat. Hasil kerja tim independen bisa dijadikan sebagai dasar pertimbangan bagi Presiden untuk menyelesaikan masalah.
Kesalahan keempat, Presiden tidak menggunakan kekuasaannya terhadap institusi kepolisian. Menurutnya, jika Presiden memahami makna Pasal 8 UU Kepolisian, maka masalah Polri vs KPK bisa diselesaikan lebih cepat.
Dalam pasal itu dijelaskan institusi kepolisian berada di bawah Presiden dan Kapolri bertanggungjawab kepada Presiden. Artinya, dalam perspektif ketatanegaraan, pola hubungan Presiden dengan Kapolri dan seluruh personel kepolisian adalah hubungan antara atasan dan bawahan.
Sehingga menurutnya aneh ketika istana mengatakan Presiden sudah beberapa kali meminta Budi Gunawan untuk mundur dalam proses pencalonan Kapolri, tetapi Budi Gunawan tidak mau.
"Dapat dikatakan Budi Gunawan telah bersikap tidak patuh dan tidak tunduk pada perintah Presiden yang merupakan atasannya. Tidak berlebihan jika ada yang menyebut hal Itu sebagai bentuk pembangkangan Calon Kapolri terhadap seorang Presiden. Ini kan jadi aneh. Masa Presiden seperti tidak berkutik pada seorang calon Kapolri," jelasnya.
Kesalahan kelima, Presiden kembali menunda penyelesaian masalah konflik KPK-Polri dengan pergi ke luar negeri. Dampaknya, di dalam negeri permasalahan KPK-Polri menjadi semakin ruwet.
Polri semakin keras dengan menyuarakan kemungkinan seluruh pimpinan KPK akan ditetapkan sebagai tersangka. Lalu Menkumham merespons hal itu dengan mewacanakan penerbitan Perpu tentang pengangkatan Plt komisioner KPK.
Selanjutnya, DPR memanggil orang-orang yang menjadi saksi dalam kasus pelaporan Ketua KPK Abraham Samad. Namun, para pelapor pimpinan KPK justru tidak dipanggil.
Padahal, pemanggilan terhadap orang-orang yang melaporkan Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain sebenarnya justru lebih penting dilakukan oleh DPR daripada pemanggilan terhadap Hasto Kristiyanto.
Sebab dengan memanggil seluruh pelapor para pimpinan KPK, DPR dapat mengetahui motif yang sesungguhnya dari pelaporan mereka itu.
"Hal tersebut penting dilakukan oleh DPR agar dapat diketahui apakah pelaporan terhadap para pimpinan KPK oleh orang-orang itu ke Mabes Polri karena ada tekanan dari pihak tertentu ataukah karena alasan yang lain. Disinilah dugaan kriminalisasi terhadap para pimpinan KPK bisa diuji," katanya.