Rabu 21 Jan 2015 09:00 WIB

Pasar Gaplok yang Tergusur dan Bertahan di Rel KA

Rep: mg03/ Red: Indah Wulandari
Pasar Gaplok, Jakpus
Foto: antara
Pasar Gaplok, Jakpus

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pasar Gaplok sudah ada sejak puluhan tahun silam. Jenis barang yang diperjual belikan sama layaknya pasar lain, sayur, buah-buahan, ikan dan lain sebagainya dapat ditemui sepanjang pasar.

Lokasi berdagang yang tidak lazim membuat pasar ini terkenal. Tidak disemua tempat memiliki pasar yang lokasinya dekat sekali dengan kereta melintas.

“Yah bagaimana, namanya juga usaha,” ujar Harsimi (62 tahun). Perempuan yang sehari-hari berdagang di Pasar Gaplok pinggir rel Kereta Api (KA) dekat Stasiun Senen, Jakarta Pusat.

Bagi Harsimi, pasar ini adalah tempat untuk bertahan hidup di ibukota. Sudah 20 tahun lebih Harsimi berjualan sayur-sayuran dan bumbu dapur sejak pertama kali ia datang dari Klaten, Jawa Tengah.

“Mulai dari masih anak-anak, punya anak, sampai empat anak saya sudah menikah saya disini,” kata dia, sambil tertawa.

Aktivitas pasar sudah mulai sejak jam 02.00 WIB. Pasar sendiri baru dibuka jam 04.00 WIB. Waktu tutupnya disesuaikan dengan keinginan masing-masing pedagang.Berjualan di tengah dan pinggir rel sudah menjadi pemandangan yang biasa selama berpuluh-puluh tahun.

Tetapi, menurut pengamatan Republika  pada Selasa (20/1) pukul 12.00 WIB, tidak ada lagi pedagang yang berjualan di tengah rel. Pedagang sudah berpindah ke pinggir rel dekat dengan pagar batu pembatas jalan dengan area rel kereta.

Bisingnya suara kereta melintas sudah tidak terasa mengganggu aktivitas niaga. Harsimi adalah salah satu pedagang yang beberapa tahun lalu berjualan di pinggir rel kereta. Saat ini ia berdagang di pagar sedikit lebih jauh dari pinggir rel kereta.

Meski begitu, Harsimi mengaku jarang terjadi kecelakaan dengan KA yang melintas beberapa menit sekali, baik kereta Commuter Line atau kereta antar kota yang melintas dengan cepat.

“Rata-rata orang sini sudah hafal mas, pedagang atau pembeli yang sudah langganan tidak pernah kecelakaan dengan kereta,” kata dia.

Harsimi mengatakan  bahwa beberapa kali kecelakaan yang terjadi hanya menimpa orang yang jarang atau baru pertama kali ke lokasi tersebut. Pedagang dan pembeli yang sudah terbiasa sudah tau harus bersikap.

“Di sini murah mas gak kayak pasar lain, pasarnya juga dekat dari rumah dan warung makan saya,” kata Yani yang tiap hari bisa sampai 2 kali bolak-balik Pasar Gaplok demi mendapatkan bahan baku untuk warung makannya. Pembeli dan pedagang sebagian besar tinggal tidak jauh dari pasar, beberapa pedagang mengaku indekos di belakang pasar.

Sejak tiga tahun lalu, pengelola pasar, begitu pedagang menyebutnya, mendirikan pagar dan bangunan semi permanen di tembok yang agak jauh dari rel KA. Tanah yang biasanya hanya ditutupi alas duduk sudah disemen, lalu atap dibangun menggunakan asbes demi kenyamanan penghuni pasar.

Pedagang membayar 3 juta rupiah kepada pengelola pasar sebagai biaya pembangunan. Ironisnya, persis di depan pagar teralis besi yang membatasi pasar dengan rel KA terpampang papan larangan membangun pagar dan bangunan liar yang sudah mulai miring dan berkarat.

Pedagang juga wajib membayar uang “sewa” atau uang “keamanan” kepada pengelola pasar. Triyani (35), ibu beranak dua asal klaten menyiapkan uang sewa sebesar  Rp10 ribu setiap harinya. Uang sewa bervariasi, ada juga yang membayar Rp 5 ribu berdasarkan besar lapak jualan. Pedagang  membayar uang sewa secara bulanan berjumlah sekitar Rp 200 ribu.

Kini atap asbes sudah berganti menjadi terpal yang rata-rata berwarna biru. Akhir Desember 2014 aparat pemerintah menggusur bangunan, penghuni dan pedagang liar disepanjang rel kereta Pasar Gaplok.

Atap asbes pasar dan bangunan semi permanen lainnya sudah dirubuhkan oleh petugas. Penggusuran dilakukan untuk membersihkan lingkungan rel KA dari bangunan yang dapat mengakibatkan gangguan operasi KA karena menghalangi pandangan masinis.

Setiap kali digusur, tiap kali itu juga mereka membangun ulang pasar. Atap asbes yang sudah rusak diganti menggunakan terpal berwarna biru. Selain murah, terpal biru mudah untuk dibongkar pasang. Semen yang menjadi alas duduk utuh tidak rusak.

Dengan sedikit usaha, pasar kembali ke kondisi yang serupa saat sebelum digusur. Tuntutan hidup memaksa pedagang yang berjumlah sekitar 200 orang tetap bertahan di kondisi yang keras.

Pedagang lainnya,  Yono (32 tahun) mengungkapkan, penggusuran terjadi setiap beberapa tahun sekali. “Gak tentu mas, kadang bisa setahun sekali, kalau yang Desember kemarin  itu penggusuran pertama setelah sekitar tuga tahunan.”

Pedagang mau saja pindah jika pemerintah menyediakan tempat lain sebagai ganti jika pasar mereka ditutup. Baginya wajar saja jika pemerintah tidak memberikan solusi untuk mereka, pedagang asal Jawa Tengah ini sadar betul mereka berdagang di lokasi yang ilegal.

“Tapi gara-gara pasar ini empat anak saya bisa sekolah sampe SMP dan SMA.” Kenang Harsimi menimpali kawannya itu. Meski sudah tidak muda ia tidak juga mau berhenti berdagang, meski keempat orang anaknya sudah memaksa ia untuk beristirahat saja di kampung halaman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement