Ahad 28 Dec 2014 18:07 WIB

Pasar Klewer Riwayatmu Kini

Rep: Edy Setiyoko/ Red: Bayu Hermawan
Pasar Klewer terbakar.
Foto: Twitter
Pasar Klewer terbakar.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Mungkin lirik lagu langgam Jawa lawas 'Pasar Klewer Nggone Wong Pamer' yang dilantunkan 'Si Walangkekek', Waldjinah, tak bisa disaksikan kasat mata lagi. Hal ini setelah terjadi kasus kebakaran hebat yang terjadi, Sabtu (28/12) hingga Ahad (29/12) pagi.

Memang, dulu Pasar Klewer boleh dikatakan tempat pamer. Ini karena semua pedagang memajang dagangan dengan cara menggantung, hingga kleweran menjuntai ke bawah. Atau ada pedagang pakaian kelilingan, menjual dagangan dipanggul dipundak, hingga kelihatan kleweran.

Kini, lirik lagu langgam Jawa tersebut tak bisa disaksikan lagi. Ini setelah pasar pusar grosir pakaian, batik, tekstil terbesar di Jawa tersebut, ludes dilalap 'si jago merah'. Pedagang tidak bisa menjajakan dagangan lagi, karena lokasi, berikut barang dagangan habis ludes terbakar.

Sekadar diketahui, Pasar Klewer terdiri dari lantai dua lantai menampung 1.467 pedagang dengan jumlah kios sekitar 2.064 unit. Seorang pedagang Pasar Klewer, Siti Aisyah, mengatakan, nilai transaksi di sini cukup besar.

Ia mengatakan dalam kondisi paling sepi, satu kios bisa bertransaksi hingga Rp 10 juta sehari. Padahal, di Pasar Klewer terdapat seribu kios, serta seribu lapak pedagang oprokan. Menurut Siti Aisyah, kebanyakan pedagang menyimpan barang dalam kios pasar. Namun, sebagian besar disimpan dalam gudang.

Nilai barang dalam kios bisa mencapai Rp 100 juta perorang. Barang-barang itu tidak sempat diselamatkan saat kebakaran terjadi di pasar yang diresmikan Presiden Soeharto, 9 Juni 1970 itu.

Pasar Klewer sudah berkembang sejak 1942. Keberadaan sebagai pusat pasar tekstil membuat Pasar Klewer menjadi tempat bagi pedagang dari Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang, Tegal, Pekalongan, Purwokerto, sebagian darn wilayah Jawa Timur, berburu barang dagangan.

Pada zaman pendudukan Jepang, kawasan Pasar Klewer yang bersebelahan dengan Keraton Surakarta, merupakan tempat pemberhentian kereta api. Saat itu, pasar ini lebih dikenal dengan nama Pasar Slompretan, Ini berasal dari kata 'slompret' yang berarti suara kereta api yang mirip bunyi terompet.

Di Pasar Slompretan ini, pedagang kecil menawarkan kain batik yang diletakkan di bahu badan. Sehingga barang dagangan menjuntai tak kararuan alias kleweran. Dari sinilah muncul istilah Pasar Klewer.

Puncak kejayaan Pasar Klewer era 1990-an. Saat itu, Pasar Klewer menjadi magnet utama ekonomi di Kota Solo. Perputaran uang mencapai Rp 8 milyar per hari. Satu kios ukuran empat meter persegi, bisa laku Rp 200 juta. Kini, ada 2.000-an pedagang yang menempati kios, dan 500-an pedagang oprokan.

Di dekat kompleks Pasar Klewer tumbuh kegiatan ekonomi baru yang berkembang menjadi Pasar Cenderamata dan Pasar Kacamata, makanan camilan khas Solo.

Pasar Klewer memang unik. Salah satu bentuk keunikan pasar ini, terjadi tawar menawar antara penjual-pembeli. Mereka melakukan kesepakatan harga, atau tawar menawar.

Unik, karena tawar-menawar dilakukan secara terbuka. Saking sempitnya area, diantara pengunjung lalu-lalang orang tak saling menyenggol, atau menabrak pengunjung lain, yang tengah menawar barang.

Tawar-menawar itu 'seni' di pasar tradisional. Itulah yang membedakan dengan mall. ''Kalau tidak ada tawar-menawar, pasar ilang kumandange (hilang gaungnya),''kata Siti Aisyah (53), pedagang kain koden.

Pasar Klewer merupakan pusat pasar dimana sebagian besar aktivitas warga Solo berpusat di sana. Dari pakaian atau tekstil yang mendominasi, makanan, sampai ke pernak pernik perhiasan dijual disana. Letak berdekatan dengan Keraton Solo dan Masjid Agung Surakarta.

Sejak dibangun tahun 1970, perkembangan pasar yang terdiri dari dua lantai ini memang pesat. Kini, Pasar Klewer menjadi salah satu pasar tekstil terbesar di Indonesia.

Dari data Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) dan Dinas Pasar Klewer, pasar ini mampu menampung 1.467 pedagang dengan jumlah kios sekitar 2.064 unit. Jumlah pedagang sebanyak itu, uang yang berputar setiap hari berkisar Rp 5 milyar – Rp 6 milyar.

Catatan 10 tahun yang lalu, pasar ini menghasilkan pendapatan dari retribusi Rp 3 milyar. Jumlah yang cukup besar, karena jika dikalkulasi, jumlah pendapatan retribusi itu telah memenuhi hampir 5% RAPBD Kota Solo 2004 dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 53,5 milyar.

Dalam dunia pariwisata Kota Solo, antara Keraton, Masjid Agung dan Pasar Klewer, sudah menjadi satu kesatuan utuh. Yang kemudian membuat semacam garis kunjungan wisata. Bisa jadi, inilah jalur 'three in one' bagi wisatawan.

Pasar Klewer menjadi salah satu nadi pusat perdagangan Kota Solo. Di sinilah, enam kota lain di Soloraya -- Solo, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Karanganyar, dan Sragen, melakukan transaksi dagang batik, tekstil dan produk tekstil. Ada juga pernik khas Solo, busana temanten dan segala makanan khas.

Dari dulu, Pasar Klewer dikenal pusat grosir batik. Baik tulis, cap, maupun printing. Ada juga berbagai jenis batik Solo, batik antik kraton, batik pantai, daster batik,  batik putri Solo, batik 'kelelawar'. Selain itu, terdapat juga berbagai macam jenis batik Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, Madura, Betawi, dan berbagai jenis batik dari kota lain.

Pasar Klewer juga menyediakan kain batik untuk baju, sprei, sarung bantal, dan segala aksesoris lain yang bernaunsa unsur batik. Khusus bagi penikmat menu Thengkleng Kambing, masih bisa menikmati.

Tengkleng yang dijajakan Bu Edi dibawah Gapura Wewangunan dibangun era Keraton Kasunanan dibawah pemerintahan Sinuhun Paku Buwono X, masih bisa bernostalgia ke sana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement