Senin 01 Dec 2014 23:01 WIB

Saksi: Fakta Medis Menunjukan tak Terjadi Sodomi Terhadap Murid JIS

Terdakwa kasus dugaan kekerasan seksual terhadap siswa Jakarta International School (JIS), Agun Iskandar saat tiba di Pengadilan Negri Jakarta Selatan, Selasa (26/8).(Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Terdakwa kasus dugaan kekerasan seksual terhadap siswa Jakarta International School (JIS), Agun Iskandar saat tiba di Pengadilan Negri Jakarta Selatan, Selasa (26/8).(Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar kasus dugaan kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS). Dalam sidang kali ini, Majelis Hakim kembali mendengarkan keterangan dari saksi ahli.

Dua orang saksi ahli yang hadir yakni Ahli Patologi Forensik dari RSU Tangerang Dr Evi Untoro dan Ahli Pidana Chairul Huda, kembali memberikan keterangan yang memperkuat kesaksian sebelumnya bahwa kasus ini sesungguhnya tidak pernah terjadi.

"Ahli patologi forensik Dr Evi Untoro setelah membaca dan mempelajari fakta-fakta medis dari SOS Medika, RSCM dan RSPI berkeyakinan bahwa kasus ini tidak ada. Dugaan adanya sodomi tidak terbukti secara medis. Demikian inti penjelasan Dr Evi," jelas kuasa hukun terdakwa Virgiawan Amin dan Agun Iskandar, Patra M Zen, Senin (1/12).

Dr Evi juga menegaskan, apabila sodomi terjadi kemungkinan besar MAK, mantan siswa JIS yang diduga menjadi korban, akan mengalami trauma dan terkena penyakit menular seksual.

Apalagi, para terdakwa menderita HSV2 atau herpes simplex. Namun seperti yang terangkum dalam bukti-bukti medis dan hasil laboratorium yang dipelajari oleh Dr Evi, korban MAK tidak mengalami hal seperti yang dituduhkan.

"Penjelasan Dr Evi semakin memperkuat fakta bahwa sodomi ini memang tidak ada. Seperti halnya Dr Ferryal Basbeth, Ahli Forensik yang bersaksi pada 26 November lalu, para ahli yang dihadirkan hari ini sulit menemukan adanya bukti-bukti sodomi itu dari rekam medis," jelasnya.

Sementara Chairul Huda mengatakan, bahwa keputusan yang diputuskan dengan alat bukti yang nihil haruslah menggunakan asas In Dubio Pro Reo dimana putusan tersebut haruslah menguntungkan terdakwa. Dalam kasus ini putusannya harus membebaskan terdakwa.

"Tidak ada bukti yang terpercaya dan valid dalam kasus ini, makanya asas In Dubio Pro Reo harus diutamakan yaitu asas yang menguntungkan terdakwa atau dalam konteks ini membebaskan terdakwa," katanya.

Masih menurut Patra, apa yang dikatakan Chairul membuktikan bahwa kasus ini semakin menunjukkan akhir dari putusan yaitu bebas bagi terdakwa. Karena seseorang tidak dapat dihukum karena alasan 'kemungkinan'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement