Jumat 14 Nov 2014 18:45 WIB

Revisi Hak Menyatakan Pendapat tak Ada dalam Kesepakatan Awal

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Mansyur Faqih
 Dua kubu di DPR, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sepakat berdamai dalam pertemuan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (10/11). (Republika/Agung Supriyanto)
Dua kubu di DPR, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sepakat berdamai dalam pertemuan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (10/11). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR Setya Novanto mengatakan, usulan revisi pasal terkait hak menyatakan pendapat dalam UU MD3 tidak ada dalam kesepakatan perundingan antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Usulan tersebut baru dilakukan KIH setelah adanya kesepakatan terkait penambahan jumlah pimpinan dalam alat kelengkapan dewan (AKD). "Itu tidak ada dalam perundingan antara Mas Pramono (Pramono Anung) dengan kami (KMP)," kata Novanto di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Jumat (14/11).

Menurutnya, usulan revisi pasal 98 UU MD3 dilakukan setelah para pemimpin partai di KIH melakukan pertemuan. Hal itu yang akhirnya menunda penandatanganan kesepakatan terkait penambahan jumlah pimpinan di AKD.

Novanto mengatakan, usulan KIH untuk merevisi pasal terkait hak menyatakan pendapat masih dibahas KMP. Namun, ia mengisyaratkan usulan tersebut sulit diterima.

"Semua usulan kita terima, tapi kalau hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, hak angket tidak bisa dihapus karena ada dalam UUD," katanya.

Adanya kekhawatiran upaya penjegalan presiden dalam pasal 98 UU MD3 dinilai terlalu berlebihan. Dia meyakinkan, tidak ada niatan dari KMP untuk mempersulit atau bahkan memakzulkan presiden.

"Kita sudah buktikan dukungan kepada pemerintah," ujar Bendahara Umum Partai Golkar itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement