REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Akademisi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Mohammad Effendy berpendapat, DPR memerlihatkan sebuah pembelajaran politik yang tidak elegan.
"Sikap oknum Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang membuat pimpinan DPR tandingan, sebuah pembelajaran politik yang tidak elegan," ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) itu, di Banjarmasin, Sabtu (1/11).
Karenanya, dia pun menyayangkan sikap KIH yang terkesan tidak mau menerima kenyataan dalam pertarungan politik.
Semestinya, menurut dia, para partai di KIH tersebut menerima kenyataan politik di DPR. Yaitu, sebagaimana kelompok Koalisi Merah Putih (KMP) yang juga bisa memaklumi kekalahan dalam pilpres yang lalu.
"Sebagai contoh, ketika peresmian Joko Widodo (Jokowi) dan HM Jusuf Kalla (JK) masing-masing sebagai presiden dan wapres, dari KMP hadir. Tidak ada kesan pemboikotan karena ketidakikhlasan," ujarnya.
Namun, katanya, pembentukan DPR tandingan malah memerlihatkan wujud ketidakikhlasan atas hasil pemilihan yang sudah menjadi kenyataan politik.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kalsel itu mengkhawatirkan, pembentukan pimpinan tandingan DPR bisa berimplikasi terhadap masa depan negara dan bangsa.
Sebab, pemerintahan Jokowi-JK akan kesulitan ketika hendak berkonsultasi terkait masalah pemerintahan dan pembangunan. Ia berpendapat, tidak ada jalan lain, kecuali DPR tandingan agar dibubarkan.
"Mereka yang membentuk pimpinan tandingan DPR harus besar jiwa dan rendah hati, menerima kenyataan politik, demi negara dan bangsa Indonesia tercinta," lanjut dia.
Ia menyatakan, pembentukan pimpinan tandingan DPR bukan contoh yang baik dalam pembelajaran politik. Karena bisa menimbulkan kesan negatif, baik dalam kaitan dengan pemerintahan, pembangunan dan perpolitikan.
"Kita harapkan peristiwa di DPR tersebut jangan sampai terjadi di Kalsel, baik untuk DPRD tingkat provinsi mau pun pada 13 kabupaten/kota," lanjutnya.