REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Presiden Joko Widodo telah mengumumkan kabinet kerja era pemerintahannya periode 2014-2019. Salah satu nama yang menjadi menteri Hukum dan HAM adalah politisi PDIP, Yasonna Hamonangan Laoly.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Fariz Fachryan menilai kebijakan presiden Jokowi memilih MenkumHAM dari kalangan politisi kurang tepat. Pasalnya, sebelumnya, kepemimpinan politisi di Kemenkumham mengecewakan dalam hal pemberantasan korupsi.
"Kebijakan Jokowi kurang tepat memilih politisi untuk menjadi Menkumham, seolah tidak ada orang lain," ujarnya kepada Republika via sambungan telepon, Selasa (28/10).
Ia menuturkan selama dua periode terakhir Kemenkumham dibawah kepemimpinan politisi Patrialis Akbar dan Amir Syamsudin sangat mengecewakan. "Ini menjadi permasalahan kualitas kepemimpinan mengecewakan terutama dalam pemberantasan korupsi," katanya.
Menurutnya, dibawah kepemimpinan mereka berdua banyak memberikan remisi kepada koruptor diakhir kepemimpinan. "Orang politik tidak bisa memisahkan kepentingan politik dengan kepentingan di kementerian," katanya.
Namun, menurutnya, kekecewaan tersebut bisa terpatahkan jika Laoly memiliki visi dan misi tentang pemberantasan korupsi. "Kita lihat saja, apakah kejadian lalu akan terulang lagi (pemberian remisi)," katanya.
Sejak reformasi, Menkumham berasal dari kalangan politisi diantaranya Muladi Muladi dari Partai Golkar menjabat sebagai Menkumham pada 1998-1999. Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang (23 Oktober 1999-7 Februari 2001 dan 9 Agustus 2001-20 Oktober 2004).
Mahfud MD dari Partai Kebangkitan Bangsa (20 Juli-9 Agustus 2001), Hamid Awaluddin, partai Golkar (2004-2007), Andi Mattalatta, partai Golkar (2007-2009), Patrialis Akbar dari Partai Amanat Nasional (2009-2011) serta Amir Syamsuddin, Partai Demokrat (2011-2014).
Hanya beberapa kali jabatan Menkumham diberikan kepada orang nonparpol, yaitu Baharuddin Loppa menjabat sekitar 4 bulan yaitu 9 Februari-2 Juni 2001 dan Marsilam Simanjuntak yang menjabat hanya sekitar 1 bulan.