REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kontroversi pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada terus berlanjut. Pengamat Politik dari Jurusan Politik dan Pemerintah (JPP) UGM, Mada Sukmajati, menilai pilkada langsung maupun tidak langsung sebenarnya tidak melanggar demokrasi dan bersifat konstitusional.
Namun, kata dia, yang menjadi persoalannya terletak dari proses pengambilan kebijakan. Mada menegaskan tidak ada perdebatan substansial di parlemen dan masyarakat mengenai dikembalikannya pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Mada sependapat bahwa dikembalikannya pilkada lewat DPRD adalah sebuah bentuk kemunduran proses pembelajaran demokrasi yang sudah berlangsung di Indonesia. Bahkan, menjadi kemunduran dari desentralisasi otonomi daerah.
“Satu poin penting, diberlakukannya otonomi daerah itu terdapat daulat rakyat memilih pemimpin lokal,” kata Mada, Jumat (26/9).
Mada mengatakan revisi UU Pilkada ini sebagai bentuk peninggalan buruk dari hasil pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya kira ini blunder terbesar justru terjadi di masa akhir pemerintahan beliau,” terangnya.
Belajar dari UU Pilkada ini, Mada mengingatkan tidak menutup kemungkinan akan ada poses pengambilan kebijakan publik yang terburu-buru. Juga, kata dia, pembahsan ini tidak berdasarkan dari hasil studi empiris.