REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebut budaya Indonesia masih menganggap para pecandus sebagai aib. ''Di keluarga mereka atau di masyarakat,'' kata Kepala Humas BNN, Sumirat Dwiyatno, Jumat (27/6).
Ia menjelaskan, para pecandu dilihat sebagai makhluk yang tercela padahal mereka merupakan korban. Alhasil, karena narkotika masyarakat masih takut untuk melaporkan adanya kegiatan transaksi narkotika di lingkungan.
Butuh kesadaran untuk bersama memberantas narkotika. Hal ini sama ketika munculnya kesadaran untuk melaporkan diri bahwa ia merupakan seorang pecandu.
''Selanjutnya, para pecandu dan keluarganya juga belum paham bahwa yang melapor untuk diproses rehab tidak akan dikenakan pidana hukum. Mereka yang lapor diri masih kurang banyak. Kita harapkan mereka lapor,'' kata dia.
Kendala-kendala ini yang membuat belum maksimalnya rehabilitasi bagi pecandu narkotika di Indoensia. Sementara, di negara lain sudah ada kesadaran untuk melaporkan diri.
''Di Thailand ada 480 ribu pecandu yang lapor tiap tahunnya untuk di rehab. Dan makin lama-lama makin berkurang para pecandunya, jika para pecandu berkurang, maka pasokan narkotika juga akan berkurang,'' kata Sumirat.
BNN berharap agar partisipasi LSM dan masyarakat untuk menyosialisasikan kesadaran untuk rehab dan kesadaran untuk melaporkan aktifitas narkotika dilingkungannya.
Sumirat meminta kepada pemerintah daerah untuk membangun tempat rehab atau klinik khusus narkoba. ''Beberapa sudah diaplikasikan seperti, 6,7 hektar lahannya untuk rehab di Lebak, di Tangsel juga RSUD buatkan klinik khusus untuk adiksi, di Pekalongan ada klinik rehab. Artinya semakin banyak masyarakat yang sadar ini,'' kata dia.