Kamis 01 May 2014 10:41 WIB

Jalankan Instruksi Presiden, Eks Sekjen Deplu Langgar Aturan

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Muhammad Hafil
Pengadilan Tipikor
Pengadilan Tipikor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Terdakwa kasus dugaan korupsi Sudjadnan Parnohadiningrat tidak membantah adanya aturan yang diabaikan dalam beberapa penyelenggaraan seminar dan konferensi internasional pada 2004-2005. Namun mantan Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri (Deplu) itu mengklaim kegiatan tetap berjalan untuk kepentingan negara.

Selepas persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (30/4), Sudjadnan mengaku ada situasi mendesak yang pada akhirnya membuat aturan diterabas. Saat kondisi Indonesia tengah terpuruk di mata internasional, dalam kondisi mendesak, Sudjadnan mendapat tugas melaksanakan konferensi sebanyak-banyak. "Ini perintah negara. Yang namanya sekjen diperintah presiden itu kayak gimana. Saya bukan menteri, diperintah langsung," kata dia.

Penyelenggaraan konferensi ini terjadi pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan kemudian di awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sudjadnan mengaku sudah mengkoordinasikannya juga dengan Menteri Luar Negeri saat itu Hassan Wirajuda. Saat itu, menurut Sudjadnan, Indonesia tengah terguncang antara lain karena kondisi di Aceh yang memanas, bom di beberapa lokasi, dan bencana tsunami.

Sudjadnan mendapat arahan untuk mengadakan konferensi internasional sejak Oktober 2003. Ia mengatakan, membangun tim untuk melobi petinggi negara asing untuk menghadiri beberapa konferensi dalam periode setahun. Ia pun mengaku memerintahkan duta besar Indonesia di luar negeri untuk melakukan lobi. "Panitia (penyelenggara) baru tahu beberapa negara bisa datang itu satu bulan sebelum konferensi," kata dia.

Kemudian, menurut Sudjadnan, panitia membentuk Term of References (TOR). Dari situ ada pengajuan penggunaan anggaran ke Departemen Keuangan (Depkeu). Sudjadnan mengatakan, pencairan anggaran datang mepet menjelang penyelenggaraan konferensi. "Terus saya harus apa coba. Apa saya diharapkan membatalkan konferensi dengan mengatakan, stop, tidak sesuai undang-undang keuangan. Stop, tidak sesuai Kepres 80 (tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah," ujar dia.

Kondisi mendesak ini yang menjadi alasan Sudjadnan akan adanya penerobosan aturan yang berlaku. Ia tidak menyangkalnya. Namun, menurut dia, ada keadaan yang memaksa melihat kondisi Indonesia saat itu. Ia merasa getir juga melihat adanya travel warning dari puluhan negara saat itu. Menurut dia, itu merupakan bentuk pelecehan. Karena itu, Sudjadnan tetap menjalankan perintah untuk bisa mengembalikan martabat dan harga diri bangsa dengan mengundang petinggi negara asing. "Tapi saya tidak merasa terpaksa demi negara saya yang dilecehkan," kata dia.

Sudjadnan membantah dalam penyelenggaraan berbagai konferensi internasional ini memperkaya diri sendiri. Malah ia mengatakan, dalam penyelenggaraan Tsunami Summit Indonesia mampu membuat negara mendapat donor Rp 44 triliun. Karena itu ia mempertanyakan posisinya saat ini yang menjadi terdakwa kasus korupsi. Sudjadnan disebut menerima untung Rp 300 juta dan perbuatannya bersama beberapa orang sudah mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 12,744 miliar.

Dalam surat dakwaan, penyelenggaraan konferensi dinilai tidak sesuai aturan. Antara lain adanya konferensi yang tidak melalui prosedur lelang, tetapi dengan penunjukkan langsung. Kemudian diduga ada selisih penggunaan dana dan laporan pertanggungjawaban, serta ada dugaan permintaan invoice dan kuitansi kosong pada pihak ketiga untuk laporan pertanggungjawaban. Sudjadnan mengatakan, itu semua urusan teknis yang ada pada tataran panitia. Sementara mengenai anggaran, menurut dia, ada pada Warsita Eka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement