REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia Satinah kembali menjadi cermin bagi pemerintah. TKW Indonesia kembali terancam hukuman pancung akibat berselisih dengan majikan mereka.
"Saya dari dulu tidak setuju dengan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, terlebih perempuan," kata Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Moneter Fiskal dan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hariyadi B. Sukamdani, Kamis (3/4), di Jakarta.
Hariyadi mengatakan, keinginan para pekerja ini mencari pekerjaan di luar negeri tak bisa disalahkan. Sebab di dalam negeri mereka tidak memiliki peluang untuk bekerja. Kurangnya lapangan pekerjaan menuntut mereka melakukan hal demikian.
Apabila berbicara upah, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di dalam negeri. Hanya selisih sedikit. Bahkan sering pula terjadi kasus gaji mereka di tahan berbulan hingga setahun. Namun di negeri sendiri mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan.
Dalam mengatasi hal ini pemerintah harusnya lebih serius membenahi perluasan lapangan kerja di dalam negeri. Apabila memang harus mengirim TKI atau TKW ke luar negeri, maka perlu mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaannya nanti. Indonesia bisa meniru Filipina dalam hal ini.
Kasus penganiayaan pembantu rumah tangga di negara mereka jarang terjadi. Pemerintah Filipina mempersiapkan pekerjanya dengan baik. Mulai dari segi bahasa Inggris hingga kesiapan mental dan tata krama. Sehingga mereka bisa melindungi diri mereka sendiri di negeri orang."Mental dan skill para TKW dan TKI harus dibenahi," kata Hariyadi. Kemudian pemerintah harus bersinergi dengan Yayasan atau Lembaga yang bertugas mengirim migran workers.
Perlu adanya verifikasi dari Yayasan atau Lembaga tersebut. Pemerintah harus mengawasi secara teliti kemampuan institusi yang bersangkutan dalam menyiapkan mental dan skill bagi TKI dan TKW. Tidak hanya memberi izin tetapi juga ikut mengawasinya. Sehingga pekerja bisa ditempatkan pada posisi sesuai dengan kemampuan mereka. Terkait permasalahan perlindungan para pekerja di luar negeri juga perlu dipikirkan kembali.
Harus diketahui bahwa TKI atau TKW untuk menjadi pembantu rumah tangga biasanya berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sehingga mereka kurang dari segi pendidikan dan intelektual. Ini yang membuat mereka sering kali terlibat perselisihan dengan para majikannya.
Untuk itu perlu adanya pengawasan dari pemerintah. Apabila menekan jumlah angka TKI atau TKW saat ini tidak mungkin. "Sangat sulit sebab itu pilihan, mereka berhak mendapat pekerjaan sesuai dengan kemauannya," kata Hariyadi.
Sementara itu Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia Bagus Marijanto mengatakan, UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri memang perlu direvisi kembali.
"UU akan direview kembali agar pengiriman tenaga kerja ke luar negeri menjadi mudah dan tidak menimbulkan masalah," katanya. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri seharusnya bisa membawa dampak positif. Hal itu juga yang diharapkan bagi semua pihak.
Bagus mengatakan, pekerja yang dikirim seharusnya memang yang sudah kompeten. Mereka yang sudah terlatih seharusnya menjadi yang layak dikirim. Dalam sistemnya, kompetensi ini adalah melalui sertifikasi.
Sehingga tidak menimbulkan kesalahan mengenai kemampuan dan mental dari pekerja yang bekerja di luar negeri. Permasalahannya terletak pada kompetensi tersebut. Apabila pekerja yang dikirim sejak awal adalah yang memiliki kemampuan sesuai levelnya, tentu tak akan ada kasus semacam ini. Kalaupun sulit membenahinya secara tuntas, minimal bisa mengurangi jumlah kasus yang terjadi.