Senin 03 Mar 2014 19:38 WIB

Calon Hakim MK tak Puaskan Tim Pakar Hukum Tata Negara

Rep: Muhammad Akbar Wijaya/ Red: Joko Sadewo
Anggota DPR RI dari Fraksi PPP Dimyati Natakusumah menyampaikan paparannya dalam diskusi
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Anggota DPR RI dari Fraksi PPP Dimyati Natakusumah menyampaikan paparannya dalam diskusi "Siapa Pantas Jadi Hakim MK" di gedung DPR RI Jakarta, Kamis (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengikuti proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and propertest) tak puaskan anggota tim pakar.

Hal ini terjadi saat calon hakim MK dari PPP, Achmad Dimyati Natakusumah menjawab pertanyaan dari anggota tim pakar Profesor Natabaya. Natabaya menanyakan kepada Dimyati mengapa UUD Sementara 1950 tidak mengatur pasal uji materi terhadap undang-undang. Atas pertanyaan ini Dimyati menjawab. "Karena tahun 1950 sistem parlementer," kata Dimyati di ruang rapat Komisi III DPR Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/3).

Jawaban Dimyati ternyata mengecewakan Natabaya. Menurutnya jawaban Dimyati keliru. "Ahhh! Bukan soal itu. Bukan soal sistem parlementer atau tidak," ujar Natabaya.

Natabaya lantas memberi petunjuk kepada Dimyati untuk menjelaskan soal konsep trias politika. Dimyati pun terlihat kebingungan dengan pertanyaan Natabaya. Dia tidak bisa memberikan jawaban apa-apa.

Selanjutnya Natabaya meminta Dimyati menjelaskan mana lebih luas antara kenegaraan dan konstitusi. Atas pertanyaan ini Dimyati menjawab negara lebih luas daripada konstitusi. Hal ini karena negara terdiri dari tanah air. "Negara, lebih luas negara karena terdiri dari tanah dan air," jawab Dimyati.

Lagi-lagi jawaban Dimyati dikritik Natabaya. Menurutnya negara lebih luas dari konstitusi karena konstitusi ada dalam undang-undang. Bukan karena negara terdiri dari tanah air. "Salah! Negara itu terdiri dari rakyat, pemerintah dan undang-undang. Nah konstitusi itu ada dalam undang-undang. Begitu penjelasannya," kata Natabaya.

Tidak cuma Dimyati. Jawaban kurang memuaskan juga disampaikan calon hakim MK, Atma Suganda. Saat itu anggota tim pakar, Saldi Isra menanyakan kepada Suganda kapan terakhir kali menulis karya ilmiah. "Saya lupa," kata Suganda.

Mendengar jawaban Suganda, Saldi Isra terlihat kesal. Menurutnya Suganda mesti tahu kapan terakhir menulis karya ilmiah. Sebab latar belakang Suganda adalah dosen yang sehari-hari berkutat dengan pembuatan karya tulis ilmiah.

Suganda dan Dimyati merupakan dua dari 11 calon hakim yang akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III. Calon hakim MK lain yang akan mengikuti seleksi hakim MK adalah kelayakan adalah Ni'matul Huda, dosen hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta; Franz Astaani, bekerja sebagai notaris; Atip Latipulhayat, dosen hukum Universitas Padjajaran; Aswanto, dosen hukum Universitas Hasanuddin. Lalu, Yohanes Usfunan, dosen hukum Universitas Udayana, Bali; Agus Santoso, dosen Universitas Widya Gama Mahakam, Samarinda; dan Edie Toet Hendratno, rektor Universitas Pancasila.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement