Rabu 20 Nov 2013 20:40 WIB

Noorsy: Boediono Pelaku Utama FPJP Bank Century

Rep: Bilal Ramadhan/ Red: Djibril Muhammad
Ichsanuddin Noorsy
Ichsanuddin Noorsy

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK meminta keterangan saksi ahli yang merupakan pengamat ekonomi politik dari Universitas Indonesia (UI), Ichsanuddin Noorsy dalam kasus dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Noorsy menilai Wakil Presiden yang juga Gubernur Bank Indonesia saat itu, Boediono menjadi aktor utama dalam pemberian FPJP kepada Bank Century.

"Di FPJP, dia (Boediono) pelaku utama bersama dengan BM (Budi Mulya), begitu terseretnya Boediono dan Budi Mulya," kata Noorsy yang ditemui usai keluar dari Gedung KPK, Jakarta, Rabu (20/11).

Noorsy menjelaskan pengambil kebijakan dalam rangka FPJP adalah Gubernur Bank Indonesia saat itu, Boediono karena mengubah dua kebijakan terkait Bank Century.

Saat itu Boediono mengubah Peraturan Bank Indonesia (PBI), dari adanya perubahan PBI ini kemudian Boediono memberikan FPJP kepada Bank Century. Maka itu dalam pemberian FPJP, Boediono disebutkan sebagai aktor utama.

Akan tetapi dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik hingga digelontori dana talangan atau bail out sebesar Rp 6,7 triliun, Boediono bukanlah pelaku utamanya. Dalam kebijakan ini, ia melanjutkan, Boediono hanya turut serta melakukan.

"Kalau Budiono turut serta di dana talangan, tapi kalau di FPJP, nggak dia bersama-sama dengan BM (menjadi pelaku utamanya), beda di situ melihatnya," katanya menjelaskan.

Dalam pemeriksaan, ia menambahkan, penyidik juga sempat menanyakan apakah penyelamatan Bank Century telah sesuai dengan prinsip kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan perbankan.

Ia menjelaskan kepada penyidik, penyelamatan harus didasarkan kepada data mutakhir.

Sedangkan data mutakhir ini adalah neraca harian yang harus diperoleh oleh otoritas pengambil kebijakan. Namun pada kasus Bank Century ini, tidak ada data mutakhir, tidak ada juga neraca harian.

Sehingga nilainya dari Rp 632 miliar kemudian berubah menjadi Rp 1,7 triliun dan bahkan pada 23 November 2008 menjadi Rp 2,7 triliun posisinya.

"Yang menarik adalah struktur talangan yang berjumlah Rp 6,762 triliun itu tiga kali penempatan di sana statusnya dalam rangka memenuhi CAR (capital adequacy ratio) dari negatif menjadi positif posisinya," paparnya.

Menurutnya hal ini artinya pengambilan keputusan ini tidak didasarkan pada neraca harian, tidak didasarkan cut off pada posisi Bank Century harus diselamatkan. Hal ini ia menilai sebagai pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian.

Posisi kunci dalam kebijakan terhadap Bank Century ini, lanjutnya, berada di BI, bagaimana BI menentukan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.

Yang paling menarik, ia melihat bagaimana perubahan CAR yang terus berubah dari November 2008 menjadi Februari 2009.

Hal ini menunjukkan betapa tidak profesionalnya penyelamatan Bank Century. Kebijakan ini juga melanggar prinsip kehati-hatian dan melanggar prosedural.

Saat ditanya apakah ada konspirasi penggelontoran dana talangan ini untuk pemenangan pemilihan presiden (Pilpres) pada 2009, ia mengaku hal itu bukan masalah yang harus ia jawab.

"Saya tidak bilang soal penyelamatan pemilunya, tapi saya akan menyatakan begini. Ada intensi atau ada motif-motif tertentu dari penyelamatan Bank Century, motifnya apa, intensinya apa, itu bukan urusan saya," ucapnya sambil setengah tersenyum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement