REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pungutan-pungutan liar (pungli) marak di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, Jawa Barat (Jabar). Hal itu dinilai merupakan bukti lemahnya pengawasan dari Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail.
Hal itu disampaikan pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago, di Depok, Jabar, Rabu (11/9). "Seorang pemimpin seharusnya menyadari betul bahwa mereka bekerja untuk rakyat, jangan sampai adanya penyimpangan dalam birokrasi," katanya.
Sebelumnya, Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik Ombudsman Republik Indonesia menemukan praktik pungli saat melakukan investigasi pada sembilan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah di Jabodetabek.
Seorang pemimpin, menurut dia, seharusnya konsen dengan adanya perilaku bawahannya yang merusak tatanan birokrasi yang sudah ada. "Mereka yang terlibat pungli seharusnya diberikan sanksi yang tegas," katanya menegaskan.
Untuk itu, Andrinof menambahkan, pemimpin harus serius mengejar perbaikan-perbaikan birokrasi agar bisa langsung dirasakan masyarakat. "Aparat birokrasi memang harus selalu diawasi agar kinerjanya benar-benar baik," katanya.
Selain itu, ia juga mengatakan, pemimpin harus melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan. Sehingga, jangan sampai anggaran yang sudah besar tetapi masyarakat tidak merasakan adanya perubahan.
Pendapat serupa juga disampaikan pengamat Ligkungan UI, Tarsoen Waryono. Ia mengatakan ketegasan seorang pemimpin bisa memperbaiki birokrasi dan menghilangkan adanya pungli.
"Apalagi adanya pungli izin lingkungan bisa merusak lingkugan yang sudah ada, ini harus segera dicegah," ujarya.
Praktik-praktik pungli untuk mengeluarkan izin lingkungan tentunya bisa merusak ekosistem yang sudah ada sebelumnya dan bisa berdampak adanya bencana alam.
Anggota Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan Budi Santoso mengatakan modus pelaksanaan praktik pungli itu adalah oknum BPLHD mengarahkan pelaku usaha untuk menggunakan jasa konsultan pilihannya dalam pengurusan analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL),
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) UKL-UPL atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan Hidup (SPPL).
Ia mengatakan hasil investigasi Ombudsman menyebutkan oknum BLH menyebut angka nominal mulai dari Rp30 juta hingga Rp50 juta untuk pengurusannya. Sedangkan dalam sebulan tidak kurang dari 10-20 pelaku usaha mengajukan pengurusan AMDAL, UKL-UPL dan SPPL.
"Bila dikalkulasi, jumlah pungutan mencapai ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah dalam setahun," katanya.
Lebih lanjut Budi menerangkan, investigasi tersebut berlangsung pada Mei-Juni 2013 di sembilan Kantor BPLHD se-Jabodetabek. Kesembilan kantor tersebut adalah BPLHD Kabupaten dan Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tengerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Administrasi Jakarta Selatan serta Timur.
Selain itu, pencemaran Sungai Ciliwung oleh limbah yang berasal dari pabrik atau tempat usaha di sepanjang Kota Depok Jawa Barat semakin parah.
Penelusuran Antara selama dua jam dengan menggunakan perahu karet bersama dengan Pemerintah setempat dan Komunitas Ciliwung memperlihatkan tak hanya dicemari tumpukan sampah, di sepanjang sungai tersebut juga ditemui limbah olahan pabrik dan juga limbah dari masyarakat.
Limbah yang ditemukan terdiri dari limbah sisa pabrik tahu, meubel (furniture) hingga limbah rumah tangga.
Selain itu adanya bangunan rumah di kawasan elite yang membuat urukan tanah hingga mendekati bibir sungai yang rawan longsor hingga membahayakan masyarakat.
"Perumahan ini sudah beberapa kali kami peringatkan tetapi tetap membandel," kata Kepala Bidang Pengawasan BLH Depok Sarwi Amanulah.