REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama DPR dan DPD di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat (16/8), sejumlah isu akan dibahas. Salah satunya terkait dengan intoleransi.
Menko Polhukam Djoko Suyanto mengatakan pidato kenegaraan tidak akan terfokus dan mendetail pada kasus-kasus keagamaan. Namun, persinggungan tentang isu tersebut akan dikemukakan. "Masalah intoleransi, kemudian konflik-konflik komunal, tindakan-tindakan kekerasan pasti disinggung," katanya, Kamis (15/8).
Djoko mengingatkan, persoalan yang menyangkut intoleransi dan keagamaan bukan semata menjadi tanggung jawab pemerintah. Salah satu kasus yang sampai saat ini masih dalam proses dialog yakni masyarakat Syiah, Sampang, Madura.
SBY bahkan sempat turun tangan dan berdialog dengan pihak terkait tentang persoalan tersebut saat safari Ramadhan ke Jawa Timur. Ia pun sempat beberapa kali berujar tentang kekerasan yang mengatasnamakan agama atau berdalih menegakan agama tidak diperbolehkan di Indonesia.
"Tidak boleh ada sekelompok orang yang dengan sesuka hatinya melakukan tindakan main hakim sendiri," tegasnya, Juli lalu.
Ia pun sempat menegaskan tentang kemajemukan yang dimiliki Indonesia. Menurutnya, Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan masyarakat yang multikultural. "Dalam masyarakat yang majemuk itu, keadilan dan sikap toleran menjadi sangat penting. Dapat dibayangkan jika di negeri ini tidak ada toleransi kepada sesama, maka bangsa kita dapat hancur," tambahnya.
SBY dan jajarannya cukup gencar berpidato tentang intoleransi, konflik komunal, hingga tindak kekerasan. Terutama setelah mendapatkan penghargaan World Statesman Award dari Appeal for Conscience Foundation (ACF). SBY dianggap berjasa dalam meningkatkan perdamaian, toleransi beragama dan menyelesaikan konflik antaretnik pada Mei lalu.