REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Irman Putra Sidin mengatakan pasal penghinaan penghinaan terhadap presiden dan wakil harap untuk dihidupkan kembali.
"Pasal itu pasal yang sudah jadi mumi oleh putusan MK. Jadi haram bagi DPR dan presiden untuk hidupkan kembali pasal itu," kata Irman di kantor Bawaslu, Jumat (5/4).
Jika dihidupkan kembali, menurut Irman, sama saja dengan menabrak secara kasar pranata UUD. Harusnya, kritik terhadap presiden disertai standar-standar etika yang bisa dibangun dibersama oleh komponen bangsa. "Kita harus buat standar itu. Tidak perlu kita hidupkan lagi pasal penghinaan presiden seperti itu," ungkapnya.
Lebih lanjut Irman menambahkan, standar etik itu harus dibangun menjadi sebuah sistem. Sehingga bisa berjalan sesuai standar peradaban yang ada. Bukan dengan membatasi hak masyarakat dalam memberikan masukan terhadap presiden.
Pasal penghinaan terhadap presiden menurutnya tidak memberi kepastian hukum bagi negara dan lembaga kepresidenan itu sendiri. Dengan membuat standar bersama, Irman beranggapan sebelum hal-hal yang mengarah pada penghinaan keluar, bisa dibahas dulu sebelum keluar ke publik.
Aturan itu diusulkan Kemenkum HAM dalam Pasal 265 dan 266 RUU KUHP yang tengah digodok DPR. Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah mencabut pasal-pasal terkait yang memiliki semangat untuk mengkultuskan kekuasaan.
Dalam Pasal 265 RUU KUHP disebutkan setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 266 selanjutnya menentukan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum.
Atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum. Akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.