Kamis 21 Mar 2013 21:51 WIB

Pengamat: Manajemen Kebakaran Komplek Istana Buruk

Rep: Gilang Akbar Prambadi/ Red: Karta Raharja Ucu
Kebakaran yang terjadi di Gedung Sekretariat Negara di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (21/3) sore.
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Kebakaran yang terjadi di Gedung Sekretariat Negara di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (21/3) sore.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sekejap api menjilati dan melahap Lantai 3 Gedung Sekretariat Negara, Kamis (21/3). Peristiwa kebakaran itu menggambarkan buruknya penanganan Setneg menangani kebakaran.

Ahli manajemen kebakaran asal Univesitas Indonesia (UI), Fatma Lestari memandang kebakaran tersebut lantaran ada keterlambatan penanganan dari para petugas intern Kantor Setneg, sehingga si jago merah cepat merambat.

Fatma menilai terbakarnya Kantor Setneg memperlihatkan ketidaksiapan orang-orang yang bertugas di komplek kepresidenan. Menurutnya, ketidaksigapan ini memicu api menyebar cepat di kantor tersebut.

Dikatakan Fatma, jika Petugas Pemadam Kebakaran terlambat datang ke lokasi, itu menjadi persoalan lain. Meskipun Markas Damkar tak jauh dari lokasi kebakaran, namun dengan situasi lalu lintas Kota Jakarta, jarak yang dekat pun perjalanan bisa memakan waktu lama.

“Justru yang terpenting adalah para petugas yang bekerja di lokasi tersebut, karena merekalah yang pertama kali ada di lokasi,” kata Fatma kepada ROL, Kamis (21/3).

Selain kelalain petugas setempat, pengajar manajemen kebakaran dan sistem tanggap darurat. Fatma juga melihat fasilitas respon bencana kantor tersebut buruk.

Api yang cepat merambat, alarm dan 'head splinker' (alat penyembur air yang berfungsi saat mendeteksi asap) tidak beroperasi dengan optimal.

Lebih jauh Fatma berpendapat jika di Komplek Istana Negara saja penangannya tidak maksimal, apalagi lokasi kebakaran di rumah yang padat penduduk.

“Saatnya pemerintah prihatin mengenai bencana ini. Di Jakarta saja, kebakaran bisa terjadi tiga kali dalam sehari, ini bukti bahwa penanganan kebakaran selama ini sangat buruk,” ujar Doktor jebolan University of New South Wales, Sidney, Australia ini mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement