REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dr Eddy OS Hierij mengatakan, subyektivitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menahan mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaaq sudah sangat tepat.
"Apa yang dilakukan KPK saya kira sudah on the right track," ujarnya kepada Republika Online, Ahad (3/2).
Diakuinya subyektivitas KPK yang digunakan lembaga tersebut untuk menahan LHI dilakukan agar mantan presiden PKS ini tidak menghilangkan barang bukti.
"Ini kan tertangkap tangan, meskipun LHI tidak. Namun Fathonah kan tertangkap tangan. Kalau tidak langsung ditahan dia (LHI) bisa hilangkan barang bukti seperti kuitansi maupun data-data di laptop," tambahnya.
Menurutnya, unsur subyektivitas dalam hukum pidana tidak hanya dimiliki KPK tetapi juga jaksa dan polisi. Unsur ini juga dilindungi oleh pasal 21 KUHP.
Berdasarkan aturan tersebut syarat dilakukan penahanan itu sebenarnya ada 3 macam, yaitu syarat kelengkapan formal seperti surat penahanan dan sebagainya, syarat obyektivitas seperti untuk ancaman penahanan 5 tahun ke atas serta syarat ketiga adalah subyektivitas.
"Syarat subyektivitas ini bisa dilakukan jika ada kekhawatiran aparat kalau yang bersangkutan akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti serta mengulangi perbuatannya," tegasnya.
Karena itulah kata dia, KPK memberlakukan tindakan yang berbeda antara Andi Malarangengdan LHI. "Kenapa Andi tidak ditahan, karena aparat tidak khawatir barang bukti akan hilang. Sedangkan LHI ini jelas tertangkap tangan, kemungkinan itu (hilangkan BB) bisa terjadi," tambahnya.
Karena itu dia sepakat jika KPK langsung menahan mantan presiden PKS tersebut. Dan itu sah secara hukum menurutnya.
Saat ditanya unsur politis dalam kasus LHI, Eddy mengatakan, tidak ada unsur politis sama sekali daam kasus tersebut. Pasalnya KPK jelas telah memiliki barang bukti kuat saat penahanan LHI. "KPK jelas sudah memiliki bukti kuat, tidak ada unsur politis. Kalau dianggap ada, itu hanya kalap saja karen tertangkap basah," tegasnya.