Rabu 30 May 2012 17:09 WIB

Rencana Penyatuan Zona Waktu Masih Dalam Pembahasan

Zona Waktu di Indonesia
Foto: bisnis.com
Zona Waktu di Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan pemerintah masih menampung pandangan pro maupun kontra terkait rencana untuk menyatukan zona waktu di Indonesia. Gagasan itu, kata dia, masih dalam pembahasan dan belum ada keputusan untuk menerapkan kebijakan tersebut.

"Kita itu semua dalam diskursus publik, ada yang tidak setuju (tapi) banyak yang setuju, semuanya itu kita tampung. Ini semua untuk kebaikan bangsa ini," katanya di Jakarta, Rabu (30/5).

Menurut Hatta, wacana tersebut bahkan belum pernah dibahas dalam rapat kabinet dengan Presiden dan pembahasan masih melihat seluruh dampak positif maupun negatif apabila kebijakan ini jadi diterapkan.

"Belum pernah dibahas di rapat kabinet, tapi kita perlu melanjutkan perbincangan ini, melihat apa keuntungan dan kerugian," ujarnya.

Ia mengatakan pembahasan yang ada saat ini menunjukkan kebijakan ini positif untuk diberlakukan, namun masih ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam menyatukan zona waktu di Indonesia.

"Semua studi yang dilakukan menunjukkan positif untuk itu dilakukan. Tapi ada juga masyarakat yang mengatakan dan melihat kurang pas. Ini didengar semua," kata Hatta.

Hatta mengatakan inisiatif untuk melakukan penyatuan zona waktu dan nilai positif kebijakan tersebut tidak hanya dilihat dari alasan efisiensi dan produktivitas bagi kepentingan ekonomi.

Ia mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan aspek lain seperti sosial budaya dan masalah komunikasi masyarakat antar wilayah yang diperkirakan akan mengalami kesulitan penyesuaian dengan kebijakan ini.

"Kalau ini hanya dilihat dari sisi pasar modal saja tidak betul, banyak aspek yang kita lihat. Sosial budaya, kemudian efisiensi, spirit kerja, lamanya kita berkomunikasi sesama daerah, itu semua kita lihat berbagai aspek itu," kata Hatta.

Kebijakan penyatuan zona waktu di Indonesia menjadi GMT + 8 (Waktu Indonesia bagian Tengah), diperkirakan membuat 193 juta jiwa di wilayah Indonesia bagian barat dan enam juta penduduk Indonesia bagian timur harus mengubah pola hidupnya secara drastis.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement