Kamis 25 Aug 2011 10:06 WIB

Dea Tungga Esti, Tinggalkan Dunia Sinetron untuk Jadi Pengacara

Rep: Muhammad Hafil/ Red: Didi Purwadi
Dea Tungga Esti
Foto: www.padangekspres.co.id
Dea Tungga Esti

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Menjadi artis sinetron sepertinya tidak terlalu menarik minatnya untuk dijadikan sebagai profesi tetap. Ia lebih memilih jalur profesi yang lebih keras dengan menjadi seorang mengurus permasalahan hukum.

Dea Tungga Esti, itulah nama mantan artis sinetron yang kini menjadi seorang pengacara. Namanya saat ini ramai diperbincangkan oleh media massa hingga ke situs jejaring social seperti facebook dan twitter. Terutama, saat ia menjadi pengacara dari seorang tersangka kasus korupsi  pembangunan wisma atlet SEA Games yang menyita perhatian publik, Muhammad Nazaruddin.

Sinetron dan model adalah dua hal yang sempat digeluti Dea menjelang semester akhir saat menempuh program S-1 bidang hukum di Universitas Pelita Harapan. Wanita berusia 29 tahun itu pernah bermain di sinetron Malam Pertama, Kisah Adinda, dan Bukan Cinderella. Namun karena sejak awal memang ingin berkiprah di dunia hukum, akting dan modeling pun ditinggalkan oleh perempuan kelahiran 1982 itu.

“Saya lebih tertarik dengan dunia hukum,” kata Dea dalam perbincangannya dengan Republika, tadi malam, Rabu (24/8).

Ibu dua anak yang memiliki darah campuran Jawa, Cina, Belanda, Pakistan, dan Arab itu mulai tertarik dengan dunia hukum saat ia masih duduk di bangku SMA. Minatnya ke dunia hukum makin kuat setelah ia menyaksikan film yang menceritakan seorang pengacara berjudul ‘Ally Mcbeal’.

Usai lulus SMA, ia memilih jurusan ilmu hukum di Universitas Pelita Harapan. Setelah menyelesaikan strata 1 (S1) nya, Dea melamar di kantor pengacara milik pengacara senior OC Kaligis. Alasannya, OC Kaligis sudah memiliki nama besar sehingga ia sangat ingin menimba pengalaman darinya.

Diburu Kuli Tinta

Namanya melambung akhir-akhir ini setelah ia menjadi anggota tim kuasa hukum Nazaruddin. Pada saat itu, Dea mulai diperhatikan oleh para ‘kuli tinta’ saat ia membacakan surat Nazaruddin untuk presiden di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta. Ia langsung menjadi rebutan para wartawan untuk diwawancarai.

Sejak saat itu, Dea kerap tampil pada acara live di berbagai televisi. Tentu saja, untuk kepentingan pemberitaan terkait Nazaruddin. Bukan untuk bermain sinetron.

Kini, ia harus menerima  konsekuensinya. Setiap harinya harus meladeni pertanyaan wartawan hingga menjawab komentar di situs jejaring sosial macam Facebook dan Twitter.

"Iya nih Mas, setiap hari ada ratusan panggilan telepon yang terjawab ataupun tidak terjawab dari wartawan. Katanya ingin cari keterangan soal Nazaruddin," tutur Dea.

Selain harus melayani telepon, Dea mengaku akun Twitter dan Facebook-nya terus dibanjiri permintaan pertemanan. Dan juga memberikan komentar-komentar di dua situs jejaring sosial tersebut.

Meski begitu, Dea tidak mengeluh. Ia sadar ini adalah konsekuensinya menjadi pembela seorang tersangka kasus korupsi yang sangat menyita perhatian media massa tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement