REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan calon anggota legislatif (caleg) dari PDIP, M Sholeh, menceritakan momen ketika partai mencoret dirinya dari daftar caleg Pemilu 2009 seusai memenangkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan atas gugatan Sholeh itu menganulir penggunaan sistem semiterbuka dalam pemilihan legislatif (pileg), lalu diganti dengan sistem proporsional terbuka penuh.
Sholeh menceritakan kisah itu ketika hadir sebagai pihak terkait dalam sidang atas perkara serupa, yakni uji materi atas sistem proporsional terbuka di MK, yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/2/2023).
"Yang Mulia, setelah saya menang di MK, saya pulang, nomor urut saya (ternyata) dicoret. Waktu itu saya caleg PDIP dapil I Jawa Timur," ujar Sholeh di hadapan majelis hakim MK.
Sholeh diketahui pada 2008 menggugat Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Pasal itu mengatur pileg menggunakan sistem proporsional semiterbuka. Dalam sistem itu, caleg harus meraup suara dengan jumlah melampaui bilangan pembagi pemilih (BPP) 30 persen untuk memenangkan kursi anggota dewan. Jika tidak ada yang melampaui BPP, maka pemenang kursi ditentukan oleh nomor urut caleg di surat suara.
Lewat perkara nomor 22/PUU-VI/2008 itu, Sholeh meminta MK memutuskan Pasal 214 tersebut inkonstitusional. Ketua MK ketika itu, Mahfud MD, mengabulkan gugatan Sholeh. Alhasil, dalam Pemilu 2009, pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh jumlah perolehan suara murni. Dengan begitu, Indonesia berarti mulai menerapkan sistem proporsional terbuka penuh.
Ketika putusan tersebut dibacakan pada Desember 2008, Sholeh sudah tercatat sebagai caleg DPRD dari PDIP di dapil I Jawa Timur. Sholeh tentu berharap peluang menangnya semakin terbuka lebar dengan diterapkannya sistem proporsional terbuka penuh. Namun, harapan Sholeh pupus usai namanya dicoret oleh pihak PDIP.
"Saya yang menang gugatan di MK, (tapi) yang menikmati caleg se-Indonesia, saya tidak. Enggak ngapa-ngapain lagi di rumah, juga tidak melakukan kampanye, wong saya sudah dicoret," kata pengacara yang berbasis di Surabaya itu.
Sholeh menuturkan, seusai gugatannya dimenangkan, dia juga melihat caleg yang pusing. Pasalnya, sebagian caleg tidak sempat menyiapkan strategi untuk mendapatkan suara pemilih sebanyak mungkin karena sudah dekat hari pencoblosan. Mereka hanya mengandalkan nomor urut kecil di surat suara sesuai sistem lama.
Padahal, dalam sistem proporsional terbuka penuh, nomor urut tak lagi berarti. "Tidak bisa kembali itu orang yang kadung beli nomor urut.... Dia enggak bisa juga menang (dengan suara terbanyak)," ungkap Sholeh.
Digugat lagi
Sejak gugatan Sholeh dimenangkan MK, sistem proporsional terbuka penuh diterapkan dalam Pemilu 2009, 2014, dan 2019. Sistem ini sebenarnya bakal digunakan kembali dalam Pemilu 2024.
Akan tetapi, enam warga negara perseorangan pada akhir 2022 lalu mengajukan gugatan uji materi atas Pasal 168 UU 7/2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut merupakan landasan penggunaan sistem proporsional terbuka.
Para penggugat, yang salah satunya merupakan kader PDIP, meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup seperti Pemilu 1999. Dalam persidangan perkara ini lah Sholeh hadir sebagai pihak terkait.
Sholeh menyampaikan sejumlah argumentasi untuk mempertahankan sistem proporsional terbuka. Salah satu argumennya berupaya membantah anggapan bahwa sistem proporsional terbuka membuat caleg harus mengeluarkan biaya besar agar bisa menang.
Baca juga : Bamusi PDIP: Pernyataan Lengkap Megawati Sesuai dengan QS. An-Nisa: 9
Sholeh menyebut, fakta justru menunjukkan bahwa banyak caleg yang tidak punya modal besar, tapi berhasil menang. Fakta ini banyak ditemukan pada caleg PDIP. Salah satu contohnya adalah Anggota DPR RI Johan Budi, yang melenggang ke Senayan seusai memenangkan pertarungan di Dapil VII Jawa Timur pada Pemilu 2019.
"Caleg PDIP yang namanya Johan Budi ..., uang dari mana dia? Nyatanya dia bisa terpilih mengalahkan incumbent, Budiman Sudjatmiko," ungkap Sholeh. Untuk diketahui, Budiman juga merupakan caleg PDIP.
MK masih akan mendengarkan keterangan dari sejumlah pihak terkait lainnya sebelum membuat putusan atas perkara ini.