Senin 08 Nov 2021 10:32 WIB

Aturan Mendikbudristek No 30 Pemikiran Liberal?

Permendikbudristek No. 30 dinilai bernuansa pemikiran liberal dan tak Pancasilais.

Ilustrasi Pelecehan Seksual. (Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Pelecehan Seksual. (Republika/Prayogi)

Oleh : Prof Cecep Darmawan, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesiadan Peneliti Hukum Pendidikan

REPUBLIKA.CO.ID, Kemendikbud Ristek telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang diundangkan 3 September 2021. Maraknya kekerasan seksual, lemahnya perlindungan korban, dan lambannya penanganan kasus di perguruan tinggi, merupakan sebagain alasan pentingnya Permendikbud Ristek ini diterbitkan.

Kemendikbud Ristek sebenarnya memiliki niat baik sebagaimana tercantum dalam konsideran Permendikbud Ristek tersebut, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual. Selain itu, dalam konsideran berikutnya Kemendikbud Ristek menyadari semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruantinggi secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kurang optimalnya penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi.

Namun sangat disayangkan, substansi-substansi yang baik dalam materi muatan Permendikbud Ristek tersebut dicederai oleh munculnya materi muatan dalam Pasal 5 ayat (2) hurufb,f,g,h,l dan m. Beberapa bentuk kekerasan seksual dalam Pasal 5 Ayat (2) Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tersebut memuat frasa “tanpa persetujuan korban”. Misalnya beberapa kalimat seperti memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban.

Lalu ada kalimat mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. Berikutnya, mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.

Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.

Baca juga : Anak Berland, Angka Tujuh untuk Panglima Andika

Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban. Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.

Muatan-muatan materi di atas, memicu kritik dan penolakan terhadap Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, yang dianggap kental bernuansa paradigma seks bebas dengan dalih persetujuan (sexual consent). Adanya frasa “tanpa persetujuan korban”, seakan melegalisasi perbuatan seks bebas dengan dalih mau sama mau atau suka sama suka dengan persetujuan dari masing-masing pihak.

Hal ini sangat berbahaya dikarenakan standar perilaku yang demikian bukan berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa kita sebagaimana tercermin dalam sila-sila Pancasila dan konstitusi. Karenanya, materi muatan dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, oleh berbagai kalangan dinilai lebih bernuansa pemikiran liberal dan hedonis yang tentunya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa Indonesia.

Permendikbud Ristek tersebut akhirnya menuai kritik tajam berbagai kalangan, mulai dari tokoh pendidikan, para ulama, maupun organisasi keagamaan. Berbagai elemen masyarakat tersebut secara tegas menolak Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dikarenakan dapat berpotensi melegalkan dan memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku penyimpangan LGBT yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Tim Penyusun Permendikbud Ristek mungkin lupa atas amanat konstitusi yang secara tegas dalam Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Bagaimana keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia generasi muda bangsa dapat terwujud jika materi muatanPasal 5 ayat (2) huruf b,f,g,h,l dan m, seperti itu.

Baca juga : Peringati Hari Pahlawan, KAI Bagikan 11 Ribu Tiket Gratis

Di samping itu, materi muatan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 pun bertentangan dengan hakikat pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Ketentuan dalamPasal 5 ayat (2) huruf b,f,g,h,l dan m,  Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 pun kontraproduktif dengan upaya pendidikan karakter. Alih-alih membangun profil Pelajar Pancasila, malah menyuburkan budaya permisif dan kebarat-baratan.

Hal ini dikarenakan materi muatanPasal 5 ayat (2) huruf b,f,g,h,l dan m,jauh dari nilai karakter positif sebagaimana tujuan pendidikan nasional dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 yakni untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) huruf b,f,g,h,l dan mPermendikbudristek No. 30 Tahun 2021 bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan konstitusi UUD NRI Tahun 1945, serta ketentuan undang-undang sistem pendidikan nasional.

Tentu kita sepakat bahwa adanya legalisasi perbuatan zina atau seks bebas dengan dalih persetujuan antarpihak tentu sangat membahayakan masa depan generasi muda. Ekses buruknya ialah kehidupan generasi muda semakin bebas tanpa dipandu oleh nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa. Bahkan, kondisi ini berpotensi membuka celahmerusaknya moralitas generasi muda sebagai penerus bangsa. Dikhawatirkan pula, dengan potensi seks bebasakan membawa efek domino terhadap delik-delik pidana dan perbuatan kriminal lainnya.

Berbagai elemen masyarakat mulai dari pendidik, tokoh agama, dan perguruan tinggi mendesak pemerintah untuk mencabut dan membatalkan Pasal 5 ayat (2) huruf b,f,g,h,l dan mPermendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Hal ini dikarenakan membahayakan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Sebelum adanya upaya-upaya hukum dari para pihak melakukan uji materi muatan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung, untuk dicabut dan dibatalkan, lebih baik pihak Kemdendikbud Ristek melakukan kaji ulang dan revisi terhadap Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 khususnya Pasal 5 ayat (2) huruf b,f,g,h,l dan m.

Baca juga : Akun Twitter Like Konten Syur, Kapolresta Bogor Minta Maaf

Ke depan, alangkan baiknya, dalam hal penyusunan peraturan menteri itu  diundang para ahli hukum, ahli pendidikan, tokoh agama, dan ahli lainnya agar peraturan yang diterbitkan selain memiliki aspek legal-formal juga memiliki perspektif filosifis dan sosilogis yang baik. Selain itu, adakan diskusi terbuka secara intens dengan berbagai kalangan atau pemangku kepentinganuntuk menampung aspirasi dan bahan masukan bagi pembentukan peraturan tersebut.

Kemendikbud Ristek pun agar hati-hati dan cermat dalam merumuskan peraturan agar sesuai dengan jiwa dan ruh nilai-nilai Pancasila, konstitusi, dan budaya luhur bangsa. Alangkah lebih bijak, jika Kemendikbud Ristek selalu melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan peraturan dan kebijakan.

Publik sepakat bahwa pada dasarnya amat penting Permendikbud Ristek di atas sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Akan tetapi, tentunya muatan materi peraturan yang dibentuk tersebut harus berbasis living law atau kebiasaan yang hidup di masyarakat Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa. Dengan demikian, melalui berbagai upaya dan pertimbangan tersebut diharapkan peraturan yang diterbitkan mengakselerasi kebijakan pendidikan yang berkualitas, melahirkan legacy yang baik bagi generasi muda, menjaga moral bangsa, dan menjunjung tinggi marwah NKRI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement