Sabtu 06 Dec 2025 08:56 WIB

Sosiolog UGM: Konsolidasi Negara Lemah Merespons Bencana Skala Besar

Banyak wilayah berubah menjadi zona darurat dalam waktu singkat.

Rep: Muhammad Noor Alfian Choir/ Red: A.Syalaby Ichsan
Keluarga menunggu proses evakuasi kerabatnya yang menjadi korban bencana tanah longsor di Aek Manis, Sibolga, Sumatera Utara, Jumat (5/12/2025). Bencana tanah longsor di Aek Manis, Sibolga menewaskan 43 orang warga. Di hari kesembilan proses evakuasi, 42 jenazah korban telah berhasil ditemukan, sedangkan satu jenazah warga lainnya masih dalam pencarian.
Foto: Edwin Putranto/Republika
Keluarga menunggu proses evakuasi kerabatnya yang menjadi korban bencana tanah longsor di Aek Manis, Sibolga, Sumatera Utara, Jumat (5/12/2025). Bencana tanah longsor di Aek Manis, Sibolga menewaskan 43 orang warga. Di hari kesembilan proses evakuasi, 42 jenazah korban telah berhasil ditemukan, sedangkan satu jenazah warga lainnya masih dalam pencarian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November silam, kembali menunjukkan betapa rentannya masyarakat ketika cuaca ekstrem berlangsung berhari-hari. Banyak wilayah berubah menjadi zona darurat dalam waktu singkat dan memaksa warga bergerak cepat menyelamatkan diri. 

Kondisi ini dinilai memperlihatkan bahwa bencana hidrometeorologi membawa dampak sosial yang jauh lebih dalam dari sekadar genangan air. Peristiwa ini mengingatkan bahwa krisis cuaca kini menuntut respons sosial yang jauh lebih kuat dan terkoordinasi. 

Baca Juga

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Arie Sujito menyebut banjir besar ini sebagai pertanda serius bahwa tata kelola risiko belum berjalan sebagaimana mestinya di berbagai daerah. Ia menilai ancaman perubahan iklim dan kerusakan ekologi makin nyata dan tidak bisa dipandang remeh. Situasi ini memperlihatkan lemahnya konsolidasi negara dalam merespons bencana berskala besar. 

“Ini menunjukkan tantangan serius konsolidasi negara dan ancaman kerusakan ekologi,”kata Arie, dalam keterangan tertulis, Jumat (5/12/2025). 

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Republika Online (@republikaonline)

Menurut dia, masyarakat Sumatera memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi bencana, termasuk solidaritas komunitas yang tumbuh secara alami. Namun, ia melihat banyak kelompok yang berada dalam posisi rentan karena kondisi ekonomi dan lokasi tempat tinggal. 

Warga yang hidup di bantaran sungai atau kawasan sempadan sering kali tidak memiliki pilihan selain tetap tinggal di area rawan. Ketika bencana datang, mereka mengalami dampak yang jauh lebih berat. “Banyak warga dengan keterbatasan ekonomi yang tinggal di pinggiran sungai menjadi kelompok paling rentan,”ujar dia.

photo
Warga menyeberangi jembatan darurat di Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat, Jumat (5/12/2025). Akses jalan darat di kawasan sekeliling Danau Maninjau yang sempat terputus akibat banjir bandang di lima titik pada Kamis (27/12) lalu saat ini telah bisa dilalui menggunakan sepeda motor. - (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement