REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dio Andre Nusa, Pustakawan Universitas Nusa Mandiri (UNM)
Di era digital yang serba cepat ini, membaca tidak lagi terbatas pada halaman buku yang bisa disentuh. Kini, di layar komputer dan gawai mahasiswa, ribuan buku hadir dalam bentuk e-book, hanya sejauh sentuhan jari.
Namun, di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan yang semakin sering menggema di ruang baca dan forum literasi: mana yang lebih berkesan, buku fisik atau e-book?
Sebagai pustakawan di Universitas Nusa Mandiri (UNM) yang dikenal sebagai Kampus Digital Bisnis, saya sering menyaksikan sendiri perubahan perilaku baca mahasiswa.
Ada yang masih setia menenteng buku tebal ke ruang baca, menikmati aroma kertas dan sensasi membuka halaman. Ada pula yang lebih nyaman menatap layar, menggulirkan e-book di tengah hiruk-pikuk kafe atau perjalanan pulang.
Bagi sebagian pembaca, buku fisik memiliki pesona yang tak tergantikan. Membuka halaman, mencium aroma kertas, menandai bagian penting dengan stabilo warna favorit, semua itu menghadirkan pengalaman yang melibatkan emosi dan indra.
Penelitian dari University of Stavanger (Mangen et al., 2019) bahkan menunjukkan bahwa pembaca buku cetak lebih mudah memahami alur dan struktur teks dibanding pembaca digital. Otak kita, ternyata, mengingat posisi teks di halaman, menciptakan “peta spasial” yang memperkuat pemahaman.
Namun, kita juga tidak bisa menutup mata pada revolusi yang dibawa e-book. Format digital memungkinkan mahasiswa mengakses bacaan kapan pun dan di mana pun, tanpa membawa beban buku tebal di tasnya.
Fitur pencarian cepat, pengaturan ukuran huruf, serta kemampuan menandai teks dan menyimpan catatan membuat e-book menjadi solusi efisien di tengah ritme hidup modern yang serba cepat. Menurut laporan Pew Research Center (2023), generasi muda kini lebih memilih format digital karena dianggap lebih ramah lingkungan dan sesuai dengan gaya hidup mereka yang dinamis.
Dalam konteks kampus digital seperti Universitas Nusa Mandiri, kedua dunia ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Buku fisik menghadirkan kedalaman dan fokus, sementara e-book menawarkan kecepatan dan akses tanpa batas. Justru, perpustakaan modern harus mampu menjembatani keduanya.
Di UNM, kami berupaya menghadirkan ruang di mana nostalgia dan inovasi dapat hidup berdampingan. Di sinilah peran pustakawan berubah: bukan lagi sekadar penjaga koleksi, tetapi kurator pengalaman membaca dan pembimbing literasi digital.
Kami di perpustakaan UNM percaya, membaca bukan hanya tentang memilih antara kertas atau layar, melainkan tentang bagaimana mahasiswa berinteraksi dengan pengetahuan. Kami ingin setiap mahasiswa menemukan caranya sendiri untuk belajar, ada yang menemukan makna di antara halaman buku, ada pula yang menemukan inspirasi lewat cahaya layar.
Selama perpustakaan terus menjaga keseimbangan dua dunia ini, membaca akan selalu menjadi kegiatan yang hidup, penuh makna, refleksi, dan kedekatan manusia dengan ilmu pengetahuan. Sebab pada akhirnya, baik dari kertas maupun dari layar, tujuan kita tetap sama: memahami dunia dengan pikiran yang terbuka dan hati yang sadar.