REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota tim teknis Forum Organisasi Supplier Bahan Bangunan Indonesia (FOSBBI) , Triyogo Priyohadi, mengatakan, pihaknya telah memperhatikan sejumlah karyawan karena tidak adanya pemasukan. Hal ini merupakan dampak dari keputusan Menteri Perindustrian terkait dengan sertifikasi produk.
"Kami telah memberhentikan beberapa karyawan karena tidak ada pemasukan lagi," kata Triyogo Priyodalam siaran persnya, Jumat (14/11/2025).
Dijekas Triyogo, masalah ini terjadi setelah keluar Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 36 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Spesifikasi Teknis untuk Ubin Keramik secara Wajib. Isinya, antara lain, pertama, pembekuan SNI yang lama dan mewajibkan perusahaan mengurus SNI yang baru melalui program Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas).
Kedua, pengiriman barang hanya dari Jakarta dimana kantor pusat perwakilan pabrik dari luar negeri berada, dan harus mempunyai gudang penyimpanan. Ketiga, barcode proses sertifikasi hanya dikeluarkan oleh Kementrian Perindustrian (Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri/BSKJI), tidak lagi oleh lembaga/perusahaan sertifikasi swasta.
Menurut Triyogo, PT Nakshatra Exim International dan perusahaan importir keramik mengajukan proses mendapat SNI yang baru. Ternyata hingga November 2025, belum ada kejelasan. Akibatnya, selama setahun ini mereka tidak dapat mengimpor produk keramik atau granit dari India.
“Coba hitung berapa kerugian pelaku usaha dan devisa negara yang tidak diterima gara-gara kita tidak bisa impor barang?," kata Triyogo. Padahal, lanjutnya, mereka terkena sejumlah komponen pajak impor barang yang jika dijumlah besarnya sekitar 39.5 % untuk produk dari India, dan lebih tinggi lagi untuk produk dari China.
Perusahaan importir yang mengalami kerugian telah mengajukan protes kepada Balai Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BSPJI), Kementrian Perindustrian. "Mereka menjawab sedang diproses," katanya.
Triyogo Priyohadi menyoroti SIINAs yang digadang-gadang telah terintegrasi dan memotong rantai birokrasi. Faktanya, butuh waktu lama untuk menerbitkan sertifikasi SNI dan terdapat antrean panjang di SIINas. Bahkan, beberapa produk impor tertahan di pelabuhan karena tidak bisa mendapat sertifikasi, padahal kontrak dagang sudah berjalan.
FOSBBI, menurut Triyogo, telah mengirim surat pengaduan terhentinya proses SNI ke Menteri Perindustrian dengan tembusan ke Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan. Mereka sudah berkoordinasi dengan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) untuk sama-sama mengirim surat ke Presiden Prabowo Subianto.
Selain peraturan nomor 36 tahun 2024, Menteri Perindustrian telah mengeluarkan 21 peraturan lainnya yang menunjuk Balai Besar Standardisasi milik Kemenperin untuk menangani sertifikasi sejumlah produk impor tertentu. Sementara itu, lembaga sertifikasi produk (LSPro) swasta hanya diberi ruang sempit untuk produk dalam negeri, yang jumlahnya jauh lebih kecil dan sebagian besar juga ditangani LSPro pemerintah.
Direktur eksekutif PT Ceprindo, Dasriel Adnan Noeha, mengatakan, keputusan ini membuat kolaps puluhan perusahaan swasta anggota Perkumpulan Penilai Kesesuaian Seluruh Indonesia/Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia (ALSI). “Kami kehilangan hingga 80% pendapatan, laboratorium hanya melakukan uji satu produk saja, dan sebagian karyawan terpaksa dirumahkan,” kata Dasrie.
Dasriel mengatakan selama puluhan tahun anggota ALSI mendukung industri nasional dan memastikan produk Indonesia memenuhi standar SNI. Mereka membangun laboratorium sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk menunjang kegiatan uji produk. Satu laboratorium pengujian bisa menelan biaya Rp 25–50 miliar, tergantung lingkup produknya.