REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan, saat ini belum siap untuk berpartisipasi dalam pasukan stabilisasi Gaza, yang merupakan bagian dari rencana perdamaian Presiden AS Donald Trump. Menurut Anwar Gargash, penasihat diplomatik presiden UEA, kurangnya kejelasan pembentukan pasukan itu menjadi alasan.
Gargash mengatakan dalam konferensi Debat Strategis Abu Dhabi pada Senin (10/11/2025) bahwa sejak awal krisis, UEA telah memberikan bantuan sebesar 2,57 miliar dolar AS (sekitar Rp41,12 triliun) kepada Jalur Gaza, setara dengan 45 persen dari seluruh bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada wilayah kantong tersebut. Gargash juga menyatakan bahwa rencana perdamaian yang diusulkan Trump tidak sempurna, tetapi telah memungkinkan tercapainya gencatan senjata dan pembebasan sandera Israel dan tahanan Palestina.
Pada 29 September, Trump meluncurkan rencana 20 poin untuk mengakhiri konflik Gaza. Rencana tersebut menetapkan bahwa Hamas dan faksi-faksi lainnya harus melepaskan keterlibatan mereka dalam pemerintahan Gaza, yang akan dipercayakan kepada "komite Palestina yang teknokratis dan apolitis" yang diawasi oleh dewan internasional pimpinan Trump.
Pada 10 Oktober, perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas mulai berlaku. Selanjutnya pada 13 Oktober, Trump, Presiden Mesir Abdel Fattah Sisi, Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menandatangani deklarasi gencatan senjata Gaza.
Perjanjian tersebut memerintahkan Hamas membebaskan 20 sandera yang masih hidup yang telah ditahan di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023. Sebagai imbalannya, Israel membebaskan 1.718 tahanan Palestina dari Gaza dan 250 tahanan Palestina yang menjalani hukuman penjara yang panjang.
Pada 15 Oktober, The Wall Street Journal melaporkan bahwa Hamas dan Israel telah mulai membahas fase kedua perjanjian gencatan senjata Trump, termasuk pelucutan senjata Hamas, tata kelola pascaperang Jalur Gaza, dan pengerahan pasukan stabilisasi internasional di Jalur Gaza.
View this post on Instagram